KOMPAS.com – Bupati Wonogiri Joko Sutopo mengaku prihatin atas kasus pencabulan yang menimpa 12 siswi Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.
Dia menyebutkan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wonogiri akan melakukan evaluasi internal agar peristiwa kekerasan dan pelecehan seksual tidak terjadi di Kabupaten Wonogiri lagi.
“Kami akan lakukan evaluasi internal terhadap peristiwa percabulan 12 siswi yang terjadi di Kabupaten Wonogiri,” kata bupati yang akrab disapa Jekek itu dalam siaran pers, Selasa (6/6/2023).
Menurutnya, hal tersebut menjadi momentum untuk saling mengingatkan dan menggugah kembali komitmen semua pihak agar terhindar dari segala sesuatu yang masuk dalam kualifikasi degradasi moral.
Belajar dari kasus itu, Jekek menegaskan, perlunya pendidikan seks sejak dini dan harus masuk dalam ranah kurikulum pendidikan dasar.
Baca juga: Kepsek dan Guru MI di Wonogiri Cabuli 12 Siswi Sejak 2021, Tersangka Terancam 15 Tahun Penjara
Dengan demikian, kata dia, anak-anak yang duduk di bangku pendidikan dasar dapat mengantisipasi sejak dini kasus pelecehan seksual.
“Kalau bicara pemahaman khusus apa itu pendidikan seks itu kan kita bicara kurikulum, saya sering bercerita bahwa anak yang sudah sekolah harus mengetahui batasan sesuai jenjang pendidikannya dan dikenalkan sejak awal sehingga bisa mengantisipasi,” ujarnya.
Jekek menyebutkan, saat ini sekolah sudah memiliki kurikulum terkait pendidikan seks. Namun, titik berat kurikulum tersebut mengacu pada pendidikan agama.
“Maka dimensinya ini cukup luas dan bias. Sementara itu, pada saat hari ini kita dihadapkan pada kemajuan teknologi yang luar biasa,” jelasnya.
Oleh karenanya, Jekek mengusulkan Pemerintah Pusat membuat kurikulum pendidikan untuk memberikan pengetahuan kepada anak-anak terkait batasan-batasan yang harus dijaga agar terhindar dari kasus pelecehan seksual.
Sebab, kata dia, beban intensitas pemahaman pendidikan memberikan pemahaman pendidikan moralitas melalui sistem pendidikan dengan derasnya informasi publik melalui internet bukan hal yang mudah dan sepele.
Dengan begitu, dibutuhkan pembelajaran berkaitan dengan batasan-batasan pengenalan terkait pendidikan seks yang harus didiskusikan secara komprehensif dan dituangkan pada proses kurikulum yang lain di luar pendidikan agama.
“Semestinya dengan kasus keterjadian ini, kalau kami boleh usul dimulai. Anak-anak diberikan pemahaman batasan-batasan mana yang boleh disentuh dan mana yang tidak boleh disentuh,” ujarnya.
Jekek mengatakan, dibutuhkan pengkajian khusus dan langkah komprehensif yang terstruktur dan dituangkan pada kebijakan kementerian agar kegiatan belajar dan mengajar ada satu pemahaman yang bersifat privasi.
“Itu dari awal dari usia dini sehingga anak-anak memiliki pemahaman untuk menjaga diri dan membentengi diri. Ini bukan sesuatu yang tabu lagi,” jelasnya.
Baca juga: Seberapa Penting Pendidikan Seks untuk Anak?
Lebih lanjut, Jekek juga ingin ada kurikulum yang memberikan pemahaman sekaligus membentengi anak-anak dari potensi kasus percabulan ataupun kasus kekerasan yang lain yang masuk dalam moralitas.
Politisi PDI Perjuangan itu menyebutkan, potret ril perkembangan teknologi memberikan dampak yang tidak diantisipasi bersama.
Dia mencontohkan, dewasa ini terdapat anak yang mengalami kondisi dewasa dini sehingga anak tersebut ingin tahu informasi terkait aktivitas seksual.
“Kondisi ini semestinya harus diantisipasi sejak dini. Apakah memungkinkan dari tingkat SD ada sebuah kurikulum khusus dengan batasan yang ada disesuaikan. Tidak secara vulgar dikenalkan. Tetapi disesuaikan dengan jenjang usianya,” ungkapnya.
Jekek mencontohkan, kurikulum negara maju sudah dikenalkan pendidikan seks sejak usia dini. Dengan begitu, anak-anak bisa mendeteksi dan membentengi diri.
Baca juga: Dosen UM Surabaya: Ini Pentingnya Pendidikan Seks bagi Remaja
Selain itu, ada pendidikan pengenalan terhadap organ pribadi yang menjelaskan fungsinya masing-masing. Anak diberikan pemahaman lebih awal agar bisa mengetahui batasan-batasan privasi.
“Dari situ anak punya kesadaran untuk melindungi diri. Kalau nanti ada yang megang-megang di area yang diajarkan masih bisa melakukan perlawanan. Maka ini bisa menjadi deteksi dini kalau anak mengalami seperti itu,” ungkapnya.
Jekek menilai, dengan pembelajaran lebih awal, negara maju bisa bersikap dan bertindak atau minimal bisa menciptakan situasi aman.
Lebih lanjut, Jekek menambahkan, kasus pelecehan seksual yang melanda anak-anak menjadi tanggung jawab kolektif dan tidak hanya menjadi kontrol dari pemerintah atau Kementerian Agama.
Menurutnya, seluruh elemen masyarakat harus mengambil ruang bertanggung jawab untuk melakukan fungsi-fungsi pengawasan terhadap aktivitas apapun baik itu pendidikan, keagamaan, kepemudaan, dan masyarakat secara umum semuanya harus menjadi ruang partisipasi publik.
Baca juga: Kenalkan Pendidikan Seks pada Anak Melalui Lagu Lindungi Diri
Jekek menegaskan, pengawasan yang dilakukan masyarakat diperlukan agar berpartisipasi melakukan kontrol sekaligus memberikan informasi jika ada gejala dan ada kondisi yang dianggap tidak wajar.
Dengan demikian, kata dia, langkah Itu menjadi antisipasi yang dapat dilakukan pada ranah preemtif dan preventif sehingga kejadian ini dapat dicegah minimalisir.