KOMPAS.com – Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengeluarkan surat edaran bernomor 561/75/Yanbangsos terkait pelaksanaan UMK kabupaten/kota di Jabar 2020.
Secara umum, surat tersebut menyetujui usulan kenaikan upah minimum 8,51 persen dari kepala daerah di 27 kabupaten/kota di Jabar.
Berbentuk surat edaran, kebijakan ini dinilai tidak populer dan menuai perbincangan lantaran tidak berbentuk surat keputusan gubernur tentang penetapan Upah Minimum Kota/kabupaten (UMK) Tahun 2020 yang mengikat.
Berkenaan dengan itu, sebelumnya Ridwan telah menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang berlaku mulai 1 Januari mendatang Rp1.810.351,36 melalui SK Gubernur Nomor 561/Kep.1046-Yanbangsos/2018 Tentang UMP Jabar 2020.
UMP ini pun menjadi dasar bagi kabupaten/kota untuk menentukan UMK-nya di tahun 2020 dengan kenaikan 8,51 persen dari tahun sebelumnya.
Baca juga: Disahkan, Berikut Rincian UMP dan UMK 2020 di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur
Meski diterpa kontroversi, Ridwan Kamil mengungkapkan surat ini memiliki delapan poin penting guna menyelamatkan perusahaan di industri padat karya agar tidak gulung tikar atau pindah ke provinsi lain.
Salah satu poin pentingnya adalah pengusaha tetap wajib membayar upah tidak kurang dari upah minimum provinsi.
Selain itu, Emil, sapaan akrabnya, juga mendorong setiap perusahaan melakukan perundingan bipartit untuk menetapkan upah dan besaran kenaikannya.
Menurutnya surat edaran itu bisa jadi angin segar baik bagi pekerja maupun pelaku usaha. Pasalnya, kenaikan upah tak bersifat mengintervensi serta menyesuaikan kondisi masing-masing perusahaan.
Sementara itu, Pakar Hukum Perburuhan Saut Kristianus Manalu menilai surat edaran yang menekankan agar pengusaha dan pekerja melaksanakan perundingan bipartit untuk menetapkan upah dan besaran kenaikan UMK 2019 sudah tepat.
Baca juga: Ridwan Kamil Dorong Pengusaha Jepang Berinvestasi di Jawa Barat
Menurutnya, bentuk surat edaran pelaksanaan UMK kabupaten/kota di Jabar tahun 2020 sudah sesuai dengan konstruksi hukum, yaitu yang wajib ditetapkan oleh Gubernur adalah UMP.
Dengan adanya surat itu, maka UMK tahun ini tidak boleh rendah dibandingkan UMK 2019 dengan menyerahkan perundingan kenaikan dalam skala lokal menyesuaikan kondisi perusahaan.
"Harus ada perundingan dan perundingan tidak boleh menghancurkan upah yang selama ini telah diterima. Spirit hubungan industrial itu perundingan,”ungkap Saut seperti keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (26/11/2019).
Dia menambahkan, keputusan untuk menyerahkan kepada pekerja dan pengusaha sudah tepat.
“Kalau sudah melewati batas upah minimum, ya, itu idealnya dirundingkan. Setiap perusahaan itu memiliki kondisi kemampuan yang berbeda tingkat produktivitas pekerja yang berbeda," kata Saut, Jumat siang.
Saut berpendapat, kebijakan UMP yang sudah berjalan cukup efektif menekan peluang disparitas upah. Dengan penekanan perundingan bipartit, maka pemerintah daerah tinggal memastikan perundingan bisa berjalan dengan baik.
Baca juga: Ridwan Kamil Motivasi Anak Muda Jawa Barat agar Selalu Optimis
"Lalu adanya struktur dan skala upah ini bisa menjadi acuan dan transparansi yang membuat pekerja nyaman, pemerintah tetap mengawasi dengan fair dan memperhatikan kemampuan dari perusahaan," tutur mantan hakim ad hoc pengadilan industrial tersebut.
Untuk itu, kebijakan ini dinilai akan membuka harapan baru, khususnya pada industri sektor padat karya seperti garmen.
Perlu diketahui, selama ini kenaikan UMK tiap tahun dinilai menjadi salah satu faktor yang mencekik pengusaha garmen.
Hasil penelitian pusat studi pengembangan bisnis dan kelembagaan Universitas Padjadjaran (Unpad) tentang fakta dan kajian industri garmen orientasi ekspor di Jabar mengeluarkan hasil tak menggemberikan.
Dalam studi itu dipaparkan, selama kurang dari tiga tahun, sebanyak 45 pabrik garmen di Jabar tutup, tujuh pabrik pindah ke Jawa Tengah (Jateng), dua pabrik pindah ke kabupaten/kota lain di Jabar, serta empat pabrik terpaksa memangkas karyawan.
Baca juga: Ada Perang Dagang, Industri Garmen Diuntungkan?
Akibat kondisi itu, 83.192 orang di Jabar kehilangan pekerjaan. Padahal industri garmen di Jabar punya peran penting dalam penyerapan tenaga kerja.
Saat ini terdapat 351.132 orang berusia 18 - 45 tahun yang menggantungkan nasibnya di 966 pabrik garmen di Jabar.
Peneliti studi pengembangan bisnis dan kelembagaan Unpad Muhamad Rizal menuturkan, Jateng kini menjadi pusat padat karya setelah pabrik dari Jabar pindah ke sana
"Pada 2019 investasi ke Jateng mencapai Rp 212 triliun. Sementara itu, di Jabar setelah ada kenaikan UMK investasi industri ini menukik tajam,”ungkapnya, Selasa (26/11/2019).
Terkait manfaat kebijakan kepada pelaku usaha, kebijakan ini dinilai bisa memberi jaminan kepada buyer internasional agar tak kabur.
Sebab, faktor utama industri garmen gulung tikar adalah pencabutan pesanan dari buyer yang melihat tidak adanya iklim positif dari industri garmen yang kelimpungan menyikapi tekanan kenaikan UMK.
Baca juga: Peran Teknologi Diperlukan untuk Tingkatkan Efisiensi Manufaktur Garmen
"Salah satu penilaian buyer adalah perusahaan wajib memenuhi hak pekerja seperti membayar sesuai UMK, membayar BPJS, dan membayar uang lembur. Kalau itu tidak dipenuhi, mereka lari,” ungkap Rizal.
Dia menambahkan, meski UMK diberlakukan, hasil analisanya menunjukkan hanya 30 persen perusahaan yang patuh terhadap aturan itu.
Sementara itu, David Hong, salah seorang pengusaha garmen di Purwakarta menilai kebijakan tersebut membawa optimisme baru dalam dunia garmen.
Dia mengungkapkan, perusahaan yang tak bisa membayar pekerja sesuai UMK jelas bukan hal yang menggembirakan. Sebab, bisa terancam pidana serta kehilangan buyer.
"Sejak 2013 kami tidak bisa membayar sesuai UMK, saya malu dan tidak tenang karena memikirkan compliance dari buyer karena kami dipantau ketat oleh buyer. Saya punya 8000 pekerja, bisa saja saya gaji mereka semua Rp 4 juta, tapi setelah itu kami tutup," ujar David.
Baca juga: Dilema Nasib Buruh Garmen di Depok
Salah seorang pengurus serikat pekerja asal Bogor Tarjum mengatakan, perundingan bipartit membuka peluang pekerja untuk menyampaikan aspirasinya secara terbuka kepada pemilik usaha.
Adapun soal pengawasan, Tarjum menuturkan industri garmen selalu diawasi oleh pengawas independen yang selalu mengawasi jalannya perundingan.
"Tiap perusahaan juga pasti ada perwakilan serikat pekerja. Untuk sektor garmen yang berorientasi ekspor selalu ada pengawas khusus yang melakukan pemeriksaan secara ketat. Jadi secara umum kami enggak khawatir dan mendukung kekbijakan ini," ungkapnya.