KOMPAS.com - Fenomena hoax atau informasi palsu merupakan efek samping dari kemajuan teknologi informasi. Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan memiliki cara untuk mengantisipasi hoax yang dinamai Jurnalisme Tabayyun.
Menurut Heryawan, setiap masyarakat yang menerima informasi mesti meneliti narasumber berita. Selain itu, penerima berita juga perlu meneliti dan memeriksa isi informasi dan bukti atau fakta berita dari narasumber.
Penerima berita sebaiknya tidak tergesa-gesa menyebarkan berita yang baru diterimanya. "Masyarakat mesti merujuk prinsip bukan saja cover both sides namun cover all side," katanya saat Jambore PR Indonesia (JAMPIRO) di Yogyakarta, Rabu (23/08/17).
Dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, sejumlah pilar Tabayyun, yaitu shidiq atau pembela dan penegak kebenaran. Menurut dia, media massa harus berpihak dan membela kebenaran.
Baca: Humas Pemerintah Ujung Tombak Melawan Hoax
Kemudian amanah, artinya terpercaya dan dapat dipercaya. Seorang jurnalis, kata dia, harus jujur dengan data dan fakta di lapangan. Jurnalis tidak boleh memanipulasi bahkan mendistorsi fakta.
"Tabligh atau menyampaikan, artinya seorang jurnalis harus menginformasikan berita atau kejadian yang sesungguhnya. Tentu tak ketinggalan yaitu fathonah, artinya cerdas dan berwawasan luas," ujarnya.
Ia mengajak masyarakat dan para jurnalis untuk membangun dunia jurnalistik yang sehat. Kebebasan pers membangun kesadaran kolektif bangsa agar mengakselerasi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
"Kebebasan berbatasan dengan kebebasan yang lain. Perlu mengedukasi masyarakat agar sadar akan hak dan kewajibannya," katanya.
Heryawan mengatakan media massa maupun media sosial memiliki sejumlah fungsi. Di antaranya, fungsi informasi, fungsi hiburan, fungsi pendidikan, serta fungsi kontrol sosial. Sebab itu, informasi yang disajikan media harus berdasarkan fakta, kejadian yang benar, atau berasal dari narasumber yang kredibel.
Konsumen hoax
Saat ini, masyarakat rawan mengkonsumsi berita bohong bahkan fitnah. Tak jarang, berita yang mengkhianati kode etik jurnalistik tersebut mengandung unsur adu domba serta menggunakan bahasa yang tidak baik.
Sayangnya, tak sedikit masyarakat yang justru reaktif dan turut menjadi penyebar informasi hoax tersebut.
Pertumbuhan pengguna media sosial begitu pesat sehingga setiap orang bisa memposisikan dirinya sebagai jurnalis (citizen jurnalism). Masyarakat dengan mudah menyebarluaskan informasi dengan akses internet.
Menurut hasil survei Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia (Puskakom UI) dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), penggunaan internet terbanyak adalah untuk jejaring sosial 87,4 persen, mesin pencari 68,7 persen, chatting 59,9 persen, dan pencarian berita 59,7 persen.
"Kini setiap orang bisa berperan sebagai pers. Ia bisa buat berita sendiri, menyebarkan sendiri. Berbeda dengan sebuah perusahaan media yang memiliki pemimpin redaksi, ya setiap orang bisa jadi pemimpin redaksi juga untuk dirinya masing-masing," katanya.