JAKARTA, KOMPAS.com – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta melalui Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (DKPKP) Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta melakukan optimalisasi lahan perkotaan untuk urban farming. Cara ini diharapkan dapat membantu menjaga kesehatan lingkungan dan ketahanan pangan.
Upaya tersebut merupakan arahan dari Penjabat (Pj.) Gubernur Heru Budi Hartono yang sering terjun langsung dalam kegiatan urban farming. Heru menjelaskan, urban farming bisa diikuti oleh semua warga Jakarta untuk mendukung ketersediaan pasokan pangan.
"Saya berharap, urban farming dapat semakin digencarkan oleh semua pihak pada 2023. Kegiatan ini bukan hanya mengatasi urusan pangan dan inflasi, tetapi juga menambah kawasan hijau bagi Jakarta," kata Heru, seperti diberitakan Kompas.com, Jumat (5/1/2024).
Dari kegiatan urban farming, Pj. Heru pun berharap agar sarana pertanian ini dapat memacu semangat baru untuk mewujudkan kemandirian pangan.
Harapan Pj. Heru pun direalisasikan oleh DKPKP Jakarta dengan menggencarkan urban farming. Kepala DKPKP Provinsi DKI Jakarta Suharini Eliawati menyatakan, urban farming dapat memberikan banyak manfaat kepada masyarakat.
Baca juga: “Urban Farming” Ala Warga Kelurahan Palmerah, Bertani di Atap Masjid...
Selain untuk ketahanan pangan dan keasrian lingkungan, kata dia, urban farming juga berdampak ekonomi karena menambah peluang kerja bagi masyarakat sekitar melalui pengelolaan tanaman.
“Kami melibatkan masyarakat agar dapat berkolaborasi dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), swasta, akademisi, dan pihak lainnya untuk menggerakkan urban farming di Jakarta. Harapannya, agar masyarakat dapat mengandalkan hasil panen urban farming yang dapat membantu mengurangi pengeluaran rumah tangga,” katanya dalam keterangan yang diterima Kompas.com, Senin (15/7/2024).
Menurut Eli, urban farming juga menjadi salah satu upaya Pemprov DKI Jakarta dalam penanganan stunting. Berkat penanaman bibit sayuran serta buah-buahan, seperti cabai, bawang, kangkung, pisang, dan lain-lain.
Eli menjelaskan, urban farming berlangsung di lahan-lahan yang bisa dimanfaatkan. Misalnya, pekarangan, gang, permukiman, lahan kosong, fasilitas sosial, rumah susun, lembaga keagamaan seperti pondok pesantren dan rumah ibadah, serta perkantoran.
“Pada 2023, urban farming di Jakarta mampu menghasilkan 80.834,64 ton tanaman hortikultura dan 1.326,41 ton tanaman pangan. Targetnya, hasil urban farming akan terus meningkat pada 2024, yaitu naik sekitar 200 sampai 2.000-an ton,” ujar Eli.
Baca juga: Menyambangi Urban Farming di Permukiman Padat Penduduk Kembangan Jakbar
Untuk mencapai target tersebut, DKPKP Jakarta berencana menanam 75.000 bibit buah-buahan dan 25.000.000 bibit sayuran. Ia menambahkan, pihaknya akan terus bersinergi dengan pihak-pihak terkait dan melakukan sosialisasi serta pendampingan kepada masyarakat mandiri dalam kegiatan urban farming.
“Model urban farming di Jakarta berbasis ruang yang terpadu dari hulu sampai hilir, penggunaan teknologi hemat lahan, serta memberdayakan komunitas. Kami juga senantiasa membangun sinergi antara pemerintah dan stakeholders serta mengusulkan pemberian insentif pembebasan bagi objek pajak yang dipergunakan untuk kegiatan pertanian, peternakan, dan perikanan untuk urban farming,” tutur Eli.
Selain untuk memenuhi kebutuhan warga sekitarnya, hasil panen urban farming juga dapat dijual. Dengan demikian berdampak positif terhadap stabilitas pasokan dan harga pangan di Jakarta, khususnya komoditas cabai dan bawang yang merupakan penyumbang inflasi.
“Kegiatan urban farming, selain bisa memenuhi kebutuhan pangan, juga mengurangi pengeluaran untuk pangan dan menambah pendapatan, sehingga mampu meningkatkan daya beli masyarakat,” jelas Eli.
Masyarakat Jakarta merasakan manfaat urban farming. Berdasarkan data DKPKP Provinsi DKI Jakarta yang melakukan survei kepada 327 responden, sebanyak 74,62 persen masyarakat setuju bahwa urban farming membantu menekan biaya rumah tangga.
Baca juga: “Urban Farming” Diharapkan Dorong Ekonomi Masyarakat
Sementara itu, sebanyak 63 persen responden setuju bahwa urban farming menambah peluang lapangan kerja. Adapun 89,30 persen responden juga sepakat jika urban farming dapat meningkatkan ketahanan pangan keluarga.
Upaya DKPKP Provinsi DKI Jakarta dalam menggalakkan urban farming di Jakarta diapresiasi pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori.
Ia menilai, Jakarta harus bisa menyusun strategi jangka panjang agar urban farming bisa menjadi salah satu program andalan dalam mendukung ketahanan pangan di Jakarta.
“Pemerintah dapat memanfaatkan lahan kosong untuk menjalankan urban farming. (Ketersediaan lahan) merupakan kesempatan yang baik bagi pemerintah untuk mengelola setiap jengkal tanah untuk urban farming ,” paparnya kepada Kompas.com, Senin (15/7).
Terkait peran urban farming sebagai salah satu solusi ketahanan pangan, Khudori menekankan rencana jangka panjang untuk mewujudkannya. Dengan anggaran dan kelembagaan yang baik, ia optimistik Jakarta bisa merealisasikannya.
“Butuh keterlibatan banyak pihak untuk bisa menjadikan urban farming mampu memberikan dampak lebih besar. Saya rasa, pemimpin Jakarta harus memiliki visi jangka panjang yang terarah untuk menjadikan kota ini mampu menghasilkan pangan dengan persentase tertentu” bebernya.
Khudori memberi contoh Singapura yang juga menjalankan urban farming untuk mencapai target kebutuhan pangan dari negeri sendiri pada 2030. Bila dibandingkan dengan negara tetangga itu, ia menganggap Jakarta lebih siap, sebab memiliki lahan yang lebih besar.
“Sebenarnya, urban farming di Jakarta sudah berjalan dengan baik. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023, Jakarta berada di posisi satu untuk urban farming ketimbang kota-kota besar lainnya. Artinya, sudah bagus, tapi perlu ditingkatkan,” ungkap Khudori.
Baca juga: Jaga Ketahanan Pangan, Pemkot Semarang Dorong Pemanfaatan Lahan Tidur untuk “Urban Farming”
Karena itu, tambahnya, pemerintah perlu merancang perencanaan yang dibuat langkah demi langkah dan melakukan evaluasi guna melihat perkembangannya. Jika ada pencapaian yang melenceng atau tidak sesuai target, harus segera diperbaiki.
“Saya rasa, mengandalkan urban farming untuk memenuhi kebutuhan pangan di Jakarta bukanlah hal mustahil. Paling tidak, separuh kebutuhan masyarakat bisa terpenuhi dari hasil panen urban farming. Bahkan, jika berjalan dengan baik, bisa saja Jakarta jadi pemasok untuk daerah lain,” terang Khudori.
Ia melanjutkan, Jakarta juga siap dari sisi sumber daya manusia (SDM) yang dapat menjadi pendamping atau pembina urban farming. Selanjutnya, pemerintah harus bisa menggaungkan manfaat urban farming ke masyarakat lebih luas lagi.
Selain itu, Khudori pun menyarankan agar pemerintah ikut menggandeng Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk pengelolaan hasil pangan dalam skala besar, seperti Pasar Jaya atau Food Station. Dalam mewujudkan upaya ini, pemerintah akan membutuhkan investasi atau melakukan pendekatan komersial.
“Sejauh ini, hasil urban farming masih dinikmati oleh komunitasnya sendiri. Jika menjadi proyek besar, tentunya pemerintah dapat melakukan intervensi, seperti mengatur pola distribusi dengan memanfaatkan jaringan BUMD,” ungkapnya.
Baca juga: Pemprov DKI Manfaatkan Urban Farming sebagai Alternatif Ketahanan Pangan Jelang Lebaran
Khudori pun mengimbau agar DKPKP Provinsi DKI Jakarta dapat mengarahkan program ini. Misalnya, jenis tanaman yang harus ditanam sesuai dengan kebutuhan produksi. Bisa pula dengan menggelar pembinaan rutin kepada masyarakat bersama tenaga ahli agar perancangan urban farming lebih baik lagi.
“DKPKP DKI Jakarta juga harus bisa menggugah masyarakat. Sekecil apapun keterlibatan masyarakat, akan memberikan dampak yang besar jika dilakukan bersama-sama. Lahan urban farming yang sudah ada bisa dijadikan percontohan. Memang harus ada yang menggerakkan agar bisa memberikan manfaat lebih, baik untuk memenuhi masyarakat maupun menjaga ketahanan pangan serta inflasi di Jakarta,” ujarnya. (Rindu Pradipta Hestya)