Jejak Ribuan Tahun Jakarta sebagai Kota Pohon dan Air

Kompas.com - 03/02/2022, 14:00 WIB
Dwi NH,
A P Sari

Tim Redaksi

Banjir di BataviaTropenmuseum Banjir di Batavia

KOMPAS.com - Sejarawan JJ Rizal menulis, air kerap menjadi tema utama prasasti-prasasti tertua di Indonesia, tidak terkecuali di Jakarta.

Pada 1911, di Kampung Batu Tumbuh dekat Gereja Tugu, Jakarta Utara (Jakut), ditemukan prasasti yang menceritakan bahwa suatu “kali yang bagus dengan air bersih digali”.

"Prasasti dari abad kelima tersebut menyebut Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara yang memerintahkan menggali sungai sepanjang 11 kilometer (km)," dikutip dari tulisannya yang berjudul Jejak Ribuan Tahun Kota Pohon dan Air, Kamis (3/2/2022).

Prasasti tertua di Jakarta itu sering disebut-sebut memberi penjelasan perihal upaya memanen air untuk menanggulangi banjir saat musim hujan dan menyediakan pasokan air kala musim kering, sekaligus sebagai jalur transportasi perahu dari Kali Cakung ke Kali Bekasi.

Baca juga: Antisipasi Banjir, DBMSDA Kota Bekasi Beri Usul Pelebaran Kali Cakung

Jauh lebih luas lagi prasasti itu, jika melihat tongkat trisula yang memisahkan awal dan akhir tulisan berhuruf “wengi” dalam bahasa Sansekerta menyimpulkan leluhur di masa lalu memahkotai air sebagai pusat sesembahan karena merupakan awal dan penggerak kehidupan.

Semua itu bukan sekadar upaya Purnawarman membawa ajaran Hindu bahwa air mengalirkan energi karena di dalamnya bersemayam dewa-dewa.

Air pula yang menyimpan kemampuan untuk membasuh mala (nasib buruk) dan klesa (dosa).

Lebih jauh, ia sedang mewanti-wanti bagaimana seharusnya mengelola sebuah kawasan kekuasaannya yang secara geografis adalah ruang air.

Sebab, salah memahami justru berakibat sebaliknya, bukan nasib baik dan pahala yang datang, melainkan nasib buruk dan dosa.

Baca juga: Kebangkitan Kota Batavia

Kedatangan orang Belanda

Rizal melanjutkan, nasib buruk dan dosa itulah yang terjadi selang seribu tahun kemudian, ketika orang Belanda datang dan membangun Kota Batavia di atas reruntuhan kota bandar Jayakarta.

Mereka meminta Simon Stevin, seorang ahli matematika, fisika, dan insinyur militer Flemish untuk merancang sebuah kota pusat markas dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dengan mengikut rancangan kota Belanda abad ke-17.

Kota dibuat dengan banyak kanal-kanal yang mengambil air dengan sodetan dari Ciliwung. Kala itu, Batavia dipuja-puji dalam banyak laporan sebagai kota paling indah.

Bahkan, Christopher Fryke yang mengunjungi Batavia pada 1680-an mengatakan kota ini lebih indah daripada Kota Amsterdam yang ditirunya.

Baca juga: Dibantu Wali Kota Amsterdam, Warga RI Gelar Aksi Ahok di Museumplein

Akan tetapi, keindahan itu mulai bermasalah sejak 1730. Saat musim hujan tiba, sering terjadi banjir dan musim kering menyebabkan krisis air.

Para ahli kesehatan kala itu menyebut penyebab dari masalah tersebut adalah kanal-kanal.

Dari sana muncul kabut beracun, hingga penyakit-penyakit aneh seram dan mematikan yang meneror. Mereka menyalahkan erupsi Gunung Salak pada 1699 yang menimbulkan pelumpuran di kanal-kanal.

Kemasyuran Batavia sebagai Ratu di Timur pun rontok dan menyisakan bangunan bak kuburan di Timur. Para elite kaya mulai pindah ke selatan untuk menghindari banjir, mencari air bersih, dan udara sehat.

Puncaknya pada 1800, Batavia ditinggalkan diiringi dengan kutukan sebagai Oud Batavia. Kata yang merangkum segala hal buruk di kota itu.

Baca juga: Australia Hadapi Bencana Ekologi yang Belum Pernah Terjadi Sebelumnya

Mereka tak tahu akar bencana itu, tetapi para sejarawan kemudian mencatatnya sebagai bencana ekologi, malapetaka karena dosa merusak alam.

Nafsu rakus telah membuat mereka lupa dan merusak sungai serta hutan tropis yang menghiasi laporan orang-orang Eropa pertama yang mendarat di pelabuhan Sunda Kelapa pada abad ke-16.

Peta-peta menjelaskan dulunya Batavia adalah kota air. Kawasan ini dilalui begitu banyak sungai. Inilah kunci asal kutukan keruntuhan Batavia.

Dimulai ketika gula menjadi primadona ekonomi dan membuat elite penguasa VOC berlomba-lomba menanamkan uang hasil korupsi mereka di kawasan ommelanden atau luar kota benteng Batavia.

Baca juga: Pangeran Jayakarta, Penguasa Jakarta yang Paling Diburu VOC

Mereka membabat hutan-hutan untuk perkebunan tebu dan pabrik gula, terutama di tepi-tepi sungai. Namun, karena kalah bersaing, harga serta ekonomi gula runtuh, maka perkebunan dan pabrik gula ditinggalkan begitu saja.

Dampak dari membabat hutan-hutan tersebut membuat lingkungan menjadi rusak. Akibat buruk eksploitasi pun masuk kota Batavia melalui sungai-sungai yang menjadi sumber air kanal-kanal yang juga sudah menjadi tong sampah rumah tangga juga kotoran.

Demikianlah dosa ekologi membuat air menjadi nasib buruk. Mereka berusaha menanggulangi banjir, pelumpuran, krisis air, dan epidemi penyakit menyeramkan, bahkan berdoa. Akan tetapi malang tak bisa dicegah karena tidak cukup pengetahuan untuk memahaminya.

Apakah ketika mereka pindah membangun Nieuw Batavia di sekitar Gambir, lalu belajar agar bencana tak kembali?

Baca juga: Jelang Imlek, Penumpang KA dari Stasiun Gambir dan Pasar Senen Naik 10 Persen

Susan Blackburn dalam Sejarah Jakarta 400 Tahun mengungkapkan, pelajaran itu mereka mulai dari bencana banjir yang tak juga lenyap.

Tidak seperti di Oud Batavia, semangat menanggulangi banjir di Nieuw Batavia semangat kendor. Banjir sering tidak berhasil membangunkan pemerintah dari kelambanan merancang usaha sistematik untuk menanggulanginya.

Meski lamban, mulai 1911 sampai 1921, pemerintah kota (pemkot) meminta insinyur sipil, Herman van Breen mencari solusi banjir di dalam kota dan sekitarnya.

Baca juga: Belasan Tahun Menanti Solusi Banjir di Bekasi, Anggaran Malah Dikorupsi, Warga: Kami Bosan Berharap

Herman mengusulkan pembangunan sistem kanal besar yang menghubungkan Sungai Krukut dengan Ciliwung.

Daan van der Zee kemudian Muhammad Husni (MH) Thamrin mendukung serta jadi pembicaraan di Dewan Kota. Sementara Breen diperintahkan membuat rencana dan hasilnya suatu master plan penyelesaian banjir yang jauh lebih maju.

Master plan tersebut dirasa lebih baik dibanding rencana kota saat itu yang hanya terkonsentrasi di Menteng dan Weltevreden dengan 430.000 jiwa penduduk.

Baca juga: Pemprov DKI Tetap Tindak Lanjuti Polusi Asap dari Genset yang Dikeluhkan Warga Menteng Atas

Evaluasi kanal banjir

Pada 1923, Herman van Breen mengevaluasi sistem kanal banjir yang kurang maksimal disebabkan dua hal.

Pertama, pemerintah menghadapi rencananya dengan sifat kruidenier atau tukang kelontong yang pelit, sehingga hanya terlaksana sepotong-sepotong, seperti kanal banjir dari Matraman sampai Muara Angke.

Alhasil semua rencana terlambat dan tidak lagi sesuai dengan perkembangan pembangunan serta jumlah penduduk.

Kedua, penggundulan hutan di pegunungan Jawa Barat (Jabar) utara bagian tengah untuk perkebunan teh sejak 1877 karena permintaan ekspor yang tinggi telah membuat erosi hebat.

Baca juga: Tanaman Teh Dapat Menahan Erosi

Setelah 200 tahun, aliran dan alur Ciliwung kembali mengalami perubahan dan gangguan. Sungai-sungai jadi dangkal dan sedimentasi di saluran air Batavia membuat perawatan menjadi mahal.

Breen menekankan kedua hal itu. Ia meminta pemerintah memperhatikan dengan serius peranan unsur noninfrastruktur dalam menanggulangi banjir.

Harus ada seperangkat aturan untuk itu agar kerja infrastruktur banjir berjalan, yaitu menjaga profil semua sungai, menghentikan penggundulan hutan dan reboisasi di selatan Batavia, memelihara resapan serta penampungan air buatan maupun alami waduk maupun situ.

Sebab, masalah air di Batavia bukan menyangkut kelebihan air pada musim hujan, tetapi juga kekurangan air pada musim panas.

Baca juga: Prediksi BMKG soal Kapan Puncak dan Akhir Musim Hujan

Meskipun Presiden Republik Indonesia (RI) Pertama Soekarno seorang arsitek dan mimpinya bangkit untuk mengkonstruksi Jakarta pascakemerdekaan, tetapi ide-ide hidrologi kurang diperhatikannya.

Soekarno baru bertindak setelah banjir hebat di awal 1960 dan 1963. Pada 22 Juni 1965, dikeluarkan keputusan Komando Proyek Pencegahan Banjir (Kopro Banjir).

Lantas, Pemkot Jakarta mengeluarkan Rencana Induk Pengendalian Banjir 1965–1985. Sekali lagi, rencana induk 1965–1985 memilih cara mengendalikan banjir sistem makro (structural measures) dengan prioritas pembangunan kanal dan sistem polder serta sembilan waduk raksasa.

Seperti ide Breen, rencana induk banjir itu pun bernasib sama, tidak dapat pendanaan sehingga banyak rencana ditunda.

Baca juga: Geobag yang Dibangun untuk Tahan Banjir di Sintang Kalbar Jebol

Banyak studi meyakini jika rencana induk 1965–1985 ditunaikan semua, bisa jadi banjir sudah dikendalikan.

Apalagi dengan rencana membuat “ruang biru” yang meliputi kawasan sekitar Jakarta sebagai satu kesatuan penanganan banjir. Termasuk di dalamnya menetapkan besaran ruang hijau yang sangat ideal, yaitu 37,2 atau 241,8 kilometer persegi (km2).

Akan tetapi, bagaimanapun pembangunan infrastruktur banjir selalu keteteran dan ketinggalan dengan perkembangan penduduk serta penggunaan lahan.

Ketika rencana induk banjir 1965–1985 dibuat, Jakarta sudah berpenduduk 3,8 juta jiwa. Selama 1966 hingga 1976 naik menjadi 5,7 juta.

Baca juga: Saat 47 Kelurahan di Jakarta Rawan Terkena Banjir, Genangan Terjadi Tiga Tahun Berturut-turut

Tata ruang menjadi tata uang

Masih dalam tulisan Rizal, Soekarno bersama proyek metropolitan saat itu ingin mengubah Jakarta setara Paris dan New York, sehingga membuat struktur fisik kota meluas serta berubah.

Pembagian wilayah Jakarta dibagi menjadi lima oleh Ali Sadikin yang memicu pesatnya pemekaran mega urban hingga ke Tangerang, Bogor, dan Bekasi.

Situasi tambah runyam karena pada 1980-an adalah masa para konglomerat properti merajalela. Saking kuat konglomerat properti inilah sejatinya sutradara perubahan kota, bukan gubernur atau bahkan presiden.

Tata ruang telah berubah menjadi tata uang. Mulai dari rawa-rawa di utara Jakarta sampai dengan lembah pegunungan di selatan Jakarta dirambah.

Baca juga: Taman Gabion, Ikon Baru Ruas Tol Dalam Kota Jakarta

Kata orang Betawi “kampung pohon” dan “kampung air” telah diambil alih manusia rakus. Mereka mengambil tanah juga airnya disedot. Tak pelak terjadi penurunan permukaan tanah.

Banjir besar pada 2002, 2007, 2013, 2014, 2015, 2016, 2017 dan 2020 sesungguhnya berakar dan suatu gambaran situasi kacau Jakarta kontemporer itu, sekaligus cermin banjir zaman Oud Batavia lalu Nieuw Batavia.

Mengutip MH Thamrin, ketika pada 1932 korban banjir di Kampung Pekambangan berasal dari irasionalitas rakyat dan pemerintah ibukota yang berabad-abad kalah berikhtiar, lantas beradaptasi dengan lingkungan yang dianggap identik dengan banjir.

“Banjir dibicarakan hanya saat musim hujan tiba, lantas dilupakan saat air surut dan musim hujan berlalu. Kemudian dibicarakan lagi saat musim hujan datang dengan terkejut karena banjirnya lebih besar lagi,” ucap Thamrin.

Baca juga: Tugu Jam Thamrin Dipindahkan untuk Proyek MRT, Jalan MH Thamrin dan Kebon Sirih Akan Menyempit

Sampai di sini, mungkin sudah waktunya penyelesaian banjir dengan rencana komprehensif tentang daerah penampungan air dan urbanisasi dengan pengetatan infrastruktur.

Penyelesaian banjir harus didasarkan pula pada suatu rencana kultural dengan mengoreksi mentalitas masyarakat serta pemerintah bahwa Jakarta tak identik dengan banjir, tapi air.

Jakarta lahir bersama air hujan tropis 5000 tahun yang lalu yang mengikis punggung rangkaian pegunungan vulkanik Salak dan Gede.

Baca juga: Proyek Stadion Olimpiade Tokyo Diklaim Hancurkan Hutan Hujan Tropis

Air itu membentuk sungai-sungai yang membawa tanah ke laut, lalu berangsur-angsur jadi dataran endapan lebar yang landai dengan hutan lebat.

Jatipadang, Utankayu dan Tanjungbarat, Telukgong, Rawagatel, Pulomas adalah sedikit dari nama-nama tempat di Jakarta yang banyak sekali mengacu kepada nama pohon bahkan hutan dan air.

Nama-nama tempat itu adalah pengingat masa lampau Jakarta. Hal ini sekaligus menjadi sumber inspirasi untuk membentuk masa depan Jakarta yang seharusnya dibangun dengan orientasi menyediakan ruangan yang luas bagi pohon dan terutama air.

Baca juga: Keterisian RS di Jakarta Meningkat, Pengetatan Mobilitas Diperlukan

Semua ruang bagi air dari hutan, taman, sungai, sampai pantai harus dipelihara kualitasnya.

Suatu inspirasi sumber kesadaran untuk mulai meninggalkan suatu kota kelabu seperti Jakarta saat ini yang penuh beton dan aspal, seraya memulai kota yang tak sekadar hijau, tetapi juga kota biru.

 

Tulisan ini berasal dari karya JJ Rizal yang berjudul "Jejak Ribuan Tahun Kota Pohon dan Air".

Terkini Lainnya
IMM: Pemprov DKI Lakukan Penyesuaian Data Penerima KJMU, Bukan Pencabutan
IMM: Pemprov DKI Lakukan Penyesuaian Data Penerima KJMU, Bukan Pencabutan
Jakarta Maju Bersama
Atasi Pencemaran Udara, Pemprov DKI Pertegas Komitmen untuk Perluas Kawasan Rendah Emisi di Jakarta
Atasi Pencemaran Udara, Pemprov DKI Pertegas Komitmen untuk Perluas Kawasan Rendah Emisi di Jakarta
Jakarta Maju Bersama
Fraksi PDI-P Nilai Positif Kinerja Pj Gubernur Heru Pimpin Jakarta
Fraksi PDI-P Nilai Positif Kinerja Pj Gubernur Heru Pimpin Jakarta
Jakarta Maju Bersama
Transformasi Layanan Kesehatan Digital, Dinkes Jakarta Optimalkan JakSehat
Transformasi Layanan Kesehatan Digital, Dinkes Jakarta Optimalkan JakSehat
Jakarta Maju Bersama
DSDA Jakarta Dukung Percepatan SPAM Jatiluhur I untuk Penuhi Kebutuhan Air Baku Masyarakat
DSDA Jakarta Dukung Percepatan SPAM Jatiluhur I untuk Penuhi Kebutuhan Air Baku Masyarakat
Jakarta Maju Bersama
Antisipatif dan Inovatif, Terobosan Pj Heru Selama Memimpin Jakarta Raih Penghargaan
Antisipatif dan Inovatif, Terobosan Pj Heru Selama Memimpin Jakarta Raih Penghargaan
Jakarta Maju Bersama
Pindah Sementara ke Gedung KNPI, Dispora Jakarta: Kami Tidak Akan Mengambil Alih
Pindah Sementara ke Gedung KNPI, Dispora Jakarta: Kami Tidak Akan Mengambil Alih
Jakarta Maju Bersama
Tingkatkan Layanan untuk Pelanggan, PAM Jaya Siapkan Hotline Center 24 Jam
Tingkatkan Layanan untuk Pelanggan, PAM Jaya Siapkan Hotline Center 24 Jam
Jakarta Maju Bersama
Setelah Tak Lagi Menjadi Ibu Kota Negara, Jakarta Optimis Menuju Kota Global
Setelah Tak Lagi Menjadi Ibu Kota Negara, Jakarta Optimis Menuju Kota Global
Jakarta Maju Bersama
Spanduk Pj Gubernur Heru Terpasang di Setiap Sudut Ibu Kota, Ketum PITA: Tidak Ada yang Salah
Spanduk Pj Gubernur Heru Terpasang di Setiap Sudut Ibu Kota, Ketum PITA: Tidak Ada yang Salah
Jakarta Maju Bersama
Dukung Kreativitas Generasi Milenial, Pj Gubernur Heru Hadiri Acara Musik dan Pameran Kesenian di TIM
Dukung Kreativitas Generasi Milenial, Pj Gubernur Heru Hadiri Acara Musik dan Pameran Kesenian di TIM
Jakarta Maju Bersama
Gencar Menata Kelurahan dan Kecamatan, Jakarta Jadi Lebih Sedap Dipandang Mata
Gencar Menata Kelurahan dan Kecamatan, Jakarta Jadi Lebih Sedap Dipandang Mata
Jakarta Maju Bersama
Bersama Mabes Polri, Sarana Jaya Bantu Sediakan Hunian untuk Anggota dan PNS Polri
Bersama Mabes Polri, Sarana Jaya Bantu Sediakan Hunian untuk Anggota dan PNS Polri
Jakarta Maju Bersama
DSDA Jakarta Dorong Program Sanitasi Berkelanjutan demi Kesehatan Masyarakat
DSDA Jakarta Dorong Program Sanitasi Berkelanjutan demi Kesehatan Masyarakat
Jakarta Maju Bersama
Sosialisasi UU Pemilu kepada Masyarakat, Kesbangpol DKI Genjot Partisipasi Pemilu 2024
Sosialisasi UU Pemilu kepada Masyarakat, Kesbangpol DKI Genjot Partisipasi Pemilu 2024
Jakarta Maju Bersama
Bagikan artikel ini melalui
Oke