Bak Artis Sinetron, Dedi Mulyadi "Diserbu" TKI di Hongkong

Kompas.com - 22/08/2017, 08:29 WIB

 

PURWAKARTA, KOMPAS.com - Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi memberikan kuliah umum dalam diskusi yang bertajuk “Menjaga Fitrah Bangsa dari Radikalisme dan Terorisme” di Olympic House, Stadium Path, Hongkong, Minggu (20/8/2017).

Tanpa diduga, Dedi yang diundang sebagai salah seorang narasumber "diserbu" para tenaga kerja Indonesia ( TKI), khususnya perempuan yang berebut foto. Dedi layaknya seorang artis sinetron di antara para penggemarnya.

Rupanya warga Indonesia di Hongkong telah menunggu kedatangan salah seorang budayawan muda Sunda tersebut. Dedi hadir mengenakan peci hitam dan kemeja putih bercorak merah.

Baca: Dedi Mulyadi Diundang Beri Kuliah Umum untuk TKI di Hongkong

Di hadapan peserta kuliah umum yang berjumlah 152 ribu orang dan terbagi ke dalam dua sesi tersebut, Dedi mengatakan penguatan ekonomi pedesaan mutlak dibutuhkan.

Menurut dia, radikalisme dan terorisme hanya dapat ditangkal melalui pemberdayaan ekonomi desa.

Saat ini, sudah tidak boleh lagi ada monopoli kegiatan ekonomi yang hanya terpusat di Jakarta. Desa sebagai penghasil sumber daya justru harus menjadi pusat kegiatan ekonomi dan tidak boleh tenggelam dalam kemiskinan.

“Jadi, kalau ingin di Indonesia tidak subur terorisme, maka kegiatan ekonomi harus terpusat di desa, bukan lagi di Jakarta. Kalau di desa tersedia sumber-sumber ekonomi, maka orang desa tidak lagi menjadi beban di kota dan menjadi kaum miskin disana karena menganggur,” kata Dedi.

Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi berswafoto bersama TKI di Hongkong, Minggu (20/8/2017)IRWAN NUGRAHA/KOMPAS.com Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi berswafoto bersama TKI di Hongkong, Minggu (20/8/2017)

Akibat tingginya jumlah pengangguran, Dedi melanjutkan, terjadi depresi di tengah masyarakat.

Pada tahap selanjutnya, kondisi psikologi yang tengah mengalami depresi ini menjadi ‘makanan’ empuk bagi para ideolog radikalisme dan terorisme.

Selain ekonomi, Dedi juga menyerukan penguatan kebudayaan sebagai ‘obat penangkal’ dua paham yang hari ini menjadi musuh dunia internasional tersebut. Lagi-lagi, identitas budaya di pedesaan menjadi kunci agar warga negara Indonesia terhindar dari dua paham itu.

“Kalau ingin Indonesia tidak subur teroris, maka jangan ubah kebudayaan Indonesia menjadi kebudayaan lain. Indonesia harus tetap menjadi Indonesia," ujarnya.

Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi mengatakan radikalisme dan terorisme hanya bisa ditangkal dengan pemberdayaan ekonomi dan penguatan budaya lokal. Hal itu disampaikan dalam kuliah umum di hadapan para TKI di Hongkong, Minggu (20/8/2017)IRWAN NUGRAHA/KOMPAS.com Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi mengatakan radikalisme dan terorisme hanya bisa ditangkal dengan pemberdayaan ekonomi dan penguatan budaya lokal. Hal itu disampaikan dalam kuliah umum di hadapan para TKI di Hongkong, Minggu (20/8/2017)

Pemeliharaan budaya di pedesaan, imbuh Dedi, dimulai dari pemeliharaan arsitektur dan tata ruang pedesaan yang harus selalu ramah lingkungan.

Kondisi ini akan berakibat pada rasa betah para penghuni desa, sehingga tidak mencari suasana baru yang menurut mereka lebih nyaman.

Para peserta kuliah umum tampak antusias menyimak ceramah Dedi. Bupati Purwakarta itu sesekali melemparkan candaan yang mengundang tawa para peserta kuliah umum yang seluruhnya merupakan TKI di Hongkong. (KONTRIBUTOR TASIKMALAYA/ IRWAN NUGRAHA)

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
Memuat pilihan harga...
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme Jernih KOMPAS.com