PURWAKARTA, KOMPAS.com - Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi menghadiri undangan sebuah acara yang dihadiri ratusan ulama dan kiai di Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Garut, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.
Acara tersebut salah satunya membahas hubungan antara ajaran Islam yang sebagian besar dianut oleh masyarakat Sunda dengan kebiasaan masyarakat Sunda terdahulu yang telah membudaya.
"Pada zaman terdahulu di Tanah Sunda semuanya memeluk Islam. Di daerah mana, di titik mana, di kabupaten mana ada wilayah di tatar Sunda yang Hindu atau bukan Islam," jelas Dedi di hadapan para ulama.
Dedi memisalkan Islam yang telah menjadi budaya pun bisa terjadi di pesantren atau tempat mengaji. Hanya dengan terus mengikuti dan mendampingi gurunya, para santri atau murid zaman dahulu biasanya akan langsung bisa mendapatkan ilmu, meskipun mereka tak secara khusus diberikan ilmu pelajaran oleh gurunya melalui proses belajar mengajar.
Para santri itu akan paham dan mendapatkan ilmunya dari setiap tingkah, perilaku, atau ucapan gurunya yang tiap hari diikutinya saat mengamalkan ajaran Islam.
"Saya juga awalnya kurang percaya ada ustad dan santrinya yang bisa mentransfer ilmunya tanpa belajar. Asalkan santri terus mengikuti gurunya tanpa belajar langsung bisa dan mendapatkan ilmunya. Saling memberi dan menerima, tanpa belajar di dalam kelas itu," ujar Dedi.
Dedi melanjutkan, kebudayaan atau kebiasaan terdahulu lain yang paling kuat ditunjukkan oleh seorang ibu atau Indung. Dengan budaya ibu membesarkan anak di zaman dulu bermunculan generasi penerus bangsa bertitel profesor, budayawan, dan orang-orang pintar lainnya.
Uniknya, menurut Dedi, ibu zaman dahulu bukan orang yang bertitel sarjana atau pernah kuliah dengan jurusan tertentu. Mereka adalah para ibu yang tak bisa disebut orang pintar, tapi begitu menjunjung tinggi nilai-nilai Islam berbasis kebudayaan.
"Tak ada kemuliaan manusia di dunia tanpa ada ibu. Pengorbanan ibu adalah yang sejati. Diajarkan oleh kebodohan ibu, tapi si anak bisa pintar. Kebodohan zaman sekarang disebut orang yang tak pernah sekolah, ibu zaman dahulu memang lulusan sarjana mana. Tapi lihat, anak-anaknya sopan, pintar dan nurut pada orang tuanya. Ibu zaman dahulu mengandalkan budaya dan rasa. Pakai rasa pakai hati dekat kepada Allah SWT," ujarnya.
Seperti halnya yang dilakukan almarhum ibu kandungnya, tambah Dedi, ibunya berjuang seorang diri membesarkan sembilan anaknya menjadi sarjana setelah ayahnya yang veteran perang prajurit kader sakit diracuni mata-mata Belanda.
"Sarjana ekonomi mana dengan sistem manajemen seperti apa yang sekarang mampu membesarkan sembilan anak sampai sukses tanpa dibantu suami dengan kondisi sebagai orang tak punya. Tapi, lihat zaman sekarang yang telah meninggalkan budaya leluhur kita, mengurus dengan uang triliunan masih tetap ada orang yang menderita. Budaya ibu dulu itu memakai hati dan rasa dekat kepada Allah SWT," tambahnya.
Dedi mengatakan, Islam berbasis kebudayaan leluhur jika diaplikasikan secara menyeluruh saat ini akan memberikan kedamaian dan kerukunan di tiap wilayah. Hal itu mengacu para budaya masyarakat Sunda zaman dulu yang seluruhnya berbasis pada prinsip-prinsip ajaran Islam.
Contohnya adalah semua masalah diselesaikan tanpa mengedepankan kekerasan. Sopan santun mulai dari tutur kata bahasa, tingkah laku dan perbuatan memiliki tingkatan berbeda untuk anak-anak dan dewasa.
"Dalam bahasa saja Sunda sudah memiliki tingkatan dan sopan santun terjaga. Bagaimana caranya berbicara kepada sesama dan orang tua sudah berbeda," kata Dedi di hadapan santri, tokoh masyarakat dan agama dari daerah Pejampangan, Sukabumi Ciwidey, dan Kabupaten Bandung.
IRWAN NUGRAHA/KONTRIBUTOR PURWAKARTA