PURWAKARTA, KOMPAS.com - Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi akhirnya membeberkan rahasia pengelolaan keuangan daerahnya. Dengan resep yang dinamainya pengelolaan anggaran pola keluarga itu Dedi berhasil mengubah pembangunan infrastruktur dan sarana umum daerahnya maju pesat.
"Rahasia pembangunan selama ini di Purwakarta berkat pengelolaan keuangannya memakai pola keluarga. Sebelum menjalankan pola ini, kita sebagai kepala daerah harus mengetahui dulu dengan cara memeriksa langsung setiap pos anggaran dan efisiensinya," jelas Dedi di rumah dinasnya, Jumat (21/4/2017).
Tiap dinas yang dianggap tak memiliki tujuan pembangunan yang efisien misalnya, lanjut Dedi, tidak akan diberikan alokasi anggaran untuk proyek. Contohnya penghapusan alokasi anggaran proyek bersifat sosialisasi atau seminar yang dianggap tak efisien.
Pemilahan mana lebih penting dan tidak terlalu penting dalam sistem keuangan itu biasa dilakukan oleh seorang ibu zaman dulu untuk mengatur keuangan keluarga. Itulah yang ditiru oleh Dedi.
"Menyerap anggaran yang sangat besar untuk sosialisasi dan seminar itu dinilai tak efisien. Akhirnya anggaran untuk belanja publik bisa memakai uang alokasi itu. Makanya, di Purwakarta acara sosialisasi, seminar dan sebagainya sudah jarang sekali," kata Dedi.
Dedi mengatakan penerapan pengelolaan keuangan daerah itu dilakukan sejak dirinya menjadi Bupati Purwakarta pada 2008. Setiap tahun pemerintah memiliki target pembangunan, seperti satu sampai empat tahun pertama fokus kepada pembangunan infrastruktur, mulai pembangunan jalan, sarana kesehatan, pendidikan, dan lainnya.
"Setiap tahun pertama kita fokus dulu semua pembangunan infrastruktur. Setelah semuanya pembangunan sarana umum selesai, sudah enak. Tinggal pemeliharaan dan pembangunan yang lain-lainnya," tambah Dedi.
Dedi menambahkan, selama ini semua anggaran untuk proyek yang tak efisien, jika dikumpulkan dan dialokasikan ke pembangunan, jumlahnya sangat besar. Kabupaten Purwakarta sendiri hanya memiliki APBD sekitar Rp 1,8 triliun, tapi mampu membuktikan pembangunannya secara signifikan.
"Saya mengelola Rp1,8 triliun saja, semua jalan di Purwakarta sudah selesai semua. Semua pelosok yang awalnya susah dilalui warga, sekarang sudah bagus dengan jalan beton lebar. Sarana umum seperti rumah sakit dan puskesmas sudah bagus semua," ujarnya.
Selama ini negara memiliki utang dan itu menjadi permasalahan klasik selama bertahun-tahun. Menurut dia, jika setiap tahun tiap daerah itu jumlah anggaran belanjanya masih diratakan, kondisi keuangan pemerintah tetap tak akan berubah.
Menurut Dedi hal itu bisa dilakukan, karena semua daerah memiliki pengeluaran dan pendapatan berbeda-beda. Banyak daerah yang selama ini pemasukannya tinggi, tapi pengeluarannya rendah sehinga di daerah tersebut terjadi penumpukan uang sangat tinggi.
"Daerah seperti itu contohnya Jakarta dan Bandung, penyerapan anggarannya rendah. Pemasukan banyak, tapi pengeluaran rendah, sedangkan anggaran belanja daerah kabupaten atau kota dan provinsi oleh pusat sama diratakan. Terjadi penumpukan uang tinggi. Uang numpuk, di sisi lain ada penumpukkan di kas daerah sedangkan uang negara devisit," tambahnya.
Dedi menyontohkan Jakarta yang penyerapan anggaran belanjanya rendah dan di sektor infrastruktur dibantu pusat, karena kebutuhan di Ibu Kota dan pemasukan pendapatan asli daerahnya (PAD) tinggi.
Supaya terjadi keadilan dalam sistem keuangan Negara, lanjut dia, salah satu efisiensi penyerapan keuangan bisa dilakukan dengan cara mencoba perjanjian pinjaman antardaerah yang kasnya besar dan kecil. Daerah yang kasnya kecil bisa meminjam dan membayarnya dengan menyicil melalui penyusunan APBD tiap tahun.
"Sesama daerahnya saja bisa saling bantu daripada duit numpuk di Jakarta, Bandung atau daerah lain. Daerah kas kecil bisa pinjam dan bayarnya bisa nyicil melalui APBD mereka. Kalau itu dilakukan, kita bisa benahi keuangan Negara, karena daerahnya bisa membangun tanpa harus disubsidi pusat," ujar Dedi.
Efisiensi lainnya, menurut Dedi, di tingkatan pemerintah desa yang selama ini mendapatkan subsidi bisa membeli obligasi untuk kekayaan desa itu sendiri. Dengan cara itu, ke depan desa-desa bisa mandiri dan memiliki keuangan stabil tanpa harus mendapatkan subsidi terus dari pemerintah pusat.
"Di Purwakarta, desa dengan cara ini sudah dijalankan. Ke depan desa akan memiliki penghasilan sendiri, menggaji sendiri dan membangun mandiri dengan penghasilan yang besar. Masyarakatnya pun akan lebih sejahtera," ujarnya.
Pemerintah yang baik itu, lanjut Dedi, bisa mengelola dengan uang sendiri. Corporate Social Responsibility (CSR) itu semestinya disalurkan untuk penyelesaian kemiskinan. Seperti bangun rumah rakyat miskin, beli beras dan memberi modal warga miskin.
"Jangan dibalik, pemerintah membiarkan APBD tak terserap, tapi membangunnya memakai CSR dimana-mana. Gagasan saya pemimpin dari kampung yang mengurus uang hanya Rp 1,8 triliun tiap tahun bisa begini kok. Tiap OPD tak berdasarkan pagu, tapi sesuai aspek kebutuhan. Kemandirian tata kelola keuangan yang efisien dengan pola keluarga," ungkapnya.
Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati pernah mengungkapkan, Indonesia masih mencatat defisit anggaran dalam neraca keuangan beberapa tahun terakhir. Hal itu terlihat dari penerimaan negara tahun ini yang ditargetkan mencapai Rp 1.750 triliun lebih kecil ketimbang pagu anggaran belanja pemerintah sebesar Rp 2.020 triliun. Dengan itu, Indonesia harus berutang Rp 270 triliun untuk menutupi defisit tersebut.
Menurut Sri Mulyani, dengan rasio utang Indonesia yang saat ini sebesar 27 persen dari Gross Domestic Product (GDP) yang sekitar Rp 13.000 triliun, maka setiap penduduk di Indonesia saat ini memiliki utang 997 dollar AS atau sekitar Rp 13 juta per orang.
IRWAN NUGRAHA/KONTRIBUTOR PURWAKARTA