KOMPAS.com - Banyak daerah di Jawa Barat punya sejarah unik. Sejarah tersebut salah satunya bisa dilihat dari peninggalan bangunannya.
Sebutlah di Purwakarta, misalnya. Sedikitnya ada tujuh bangunan peninggalan zaman dulu yang wajib dikunjungi wisatawan.
Desain bangunan ini berlanggam Indische Empire Stijl. Dihiasi ornamen sunda, bangunan ini menjadi cantik dan anggun. Dilihat dari beberapa sudut, tampilan gedung ini sangat gagah.
Pada zaman dulu pendopo ini berfungsi sebagai kantor pemerintahan sekaligus tempat tinggal bupati. Renovasi gedung ini diperkirakan pada 1854/1856 dengan perubahan atap bangunan menjadi genteng dan lantainya berupa bangunan ditembok. Namun, perubahan itu tetap mempertahankan arsitektur tradisionalnya.
Kini, fungsi pendopo Purwakarta semakin luas. Selain untuk kegiatan pemerintahan, pendopo menjadi salah satu pusat budaya Purwakarta. Di tempat inilah kerap digelar perhelatan budaya, latihan tari-tarian, hingga belajar pembuatan wayang, keramik, hingga suling.
Pada renovasi terakhirnya terjadi perubahan di sekeliling Pendopo. Jika dulu beralaskan tanah, kini sekeliling pendopo dihiasi air mancur. Ini seiring dengan pembuatan taman di sekitar pendopo.
Penambahan air mancur dan jembatan di atas air itu membuat pendopo tampak lebih indah dan menjadi tempat wisata baru bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.
Gedung Negara dibangun pada masa VOC atau sekitar 1810. Bangunan bergaya arsitektur Eropa ini berdiri megah di Jalan Gandanegara No 25, Purwakarta.
Pada awal pendiriannya, gedung ini selain menjadi kantor juga menjadi rumah dinas bupati. Namun, di era 1983-1993, yaitu pada masa kepemimpinan Bupati Soedarna, Gedung Negara tak lagi dijadikan tempat tinggal.
Bupati Soedarna sendiri mendirikan rumah dinas yang tak jauh dari gedung tersebut. Menurut cerita yang berkembang, salah satu penyebab bupati mendirikan rumah dinas baru karena bupati yang tinggal di Gedung Negara jarang ada yang menyelesaikan masa jabatannya. Mereka meninggal sebelum jabatannya berakhir.
3. Gedung Bakorwil (Karesidenan)
Gedung Karesidenan berada di Jalan KK Singawinata atau di sebelah selatan Situ Buleud. Pembangunan gedung ini berkaitan erat dengan status Purwakarta sebagai ibu kota karesidenan Karawang.
Pembangunan gedung ini seiring dengan pembangunan jalur kereta api Batavia-Padalarang pada awal abad ke-20. Jalur kereta api Karawang - Purwakarta (41 kilometer) diresmikan tanggal 27 Desember 1902. Itulah sebabnya gedung ini diprediksikan dibangun di tahun 1902.
Setelah bangunan selesai dan jalur kereta api beroperasi, residen Karawang pindah ke Purwakarta. Pada masa pendudukan Jepang, gedung ini menjadi honbu kenpeitai atau markas polisi Jepang, yaitu sebagai bagian dari Datasemen Syoji.
Pada era kemerdekaan, bangunan ini difungsikan sebagai markas Resimen V pimpinan Letnan Kolonel Sumarna. Lahannya cukup luas. Bangunan utamanya berada di tengah halaman.
Di depan bangunan utama terdapat taman, demikian juga disamping kiri dan kanan arsitektur gedung utama berlanggam Indische Empire Stijl ini. Bila diperhatikan, bentuk bangunan ini mirip Gedung Pakuan di Bandung yang merupakan bekas gedung Karesidenan Priangan, dan kini menjadi rumah dinas Gubernur Jawa Barat.
4. Stasiun Kereta Api Purwakarta
Stasiun kereta api terletak di Jalan Kornel Singawinata No 1 Purwakarta. Stasiun ini dibangun tahun 1902 bersamaan dengan pembangunan jalur baru KA dari Batavia (Jakarta)-Bandung. Jalur baru ini melewati Cikampek-Purwakarta.
Pembangunan jalur baru ini mempercepat waktu perjalanan KA dari Batavia menuju Bandung yang hanya 2,45 jam. Sebelumnya, transportasi KA rute tersebut melewati Bogor dan Cianjur, yang diresmikan pada 17 Mei 1884. Hanya saja rute tersebut membutuhkan waktu lebih lama.
Bagi pemerintah Hindia Belanda pembangunan jalur Batavia-Karawang memiliki arti strategis, yaitu untuk menguasai hubungan langsung antara Priangan sebagai pusat perkebunan dan pertanian dengan Batavia sebagai gerbang pelabuhan.
Saat pembangunan jalur Karawang-Padalarang, ibu kota Karesidenan Karawang menjadi stasiun besar kereta api dan tempat penyimpanan alat-alat material berat.
Transportasi KA saat itu digunakan orang-orang Eropa dan pribumi. Pada awal pengoperasiannya di awal abad ke-20, tarif penumpang perorang perkilometer, 12 sen untuk kelas I dan 9 sen untuk kelas II, serta 3 sen untuk kelas III.
Jarak atau panjang rel kereta dari Purwakarta mencapai 103,06 km. Sementara jarak dari Purwakarta menuju Bandung 70,62 km. Itu artinya, biaya tarif KA penumpang kelas III Purwakarta ke Batavia sebesar 3,09 gulden. Sementara itu, tarif Purwakarta-Bandung sebesar 2,12 gulden.
Pada masa revolusi kemerdekaan, stasiun KA dijaga Laskar Rakyat. Selain sebagai sarana mobilitas pejuang, kereta api juga membawa bahan logistik dan persenjataan perang.
Dengan selesainya jalur Purwakarta-Padalarang pada 2 Mei 1906, maka hubungan kereta api antara Batavia-Surabaya lewat Karawang menjadi lebih cepat dan efisien. Begitu juga dengan keberadaan bengkel lokomotif di Purwakarta cukup penting.
Stasiun Purwakarta merupakan awal dari rel yang menanjak dan berkelok sehingga selalu disiagakan lokomotif uap pengganti. Setelah era lokomotif uap berakhir pada dekade 1980-an, berangsur-angsur dipo lokomotif d Purwakarta tidak digunakan. Kini, Stasiun Purwakarta hanya menjadi stasiun biasa yang hanya melayani penumpang kereta api.
5. Gedung Kembar
Nama Gedung Kembar disematkan masyarakat Purwakarta karena dua bangunan tersebut memiliki bentuk yang sama dengan letak berdampingan.
Gedung bergaya arsitektur Eropa ini tidak diketahui tahun berdirinya. Namun, gedung itu diperkirakan didirikan pada paruh kedua abad ke-19 masehi, yaitu setelah Kota Purwakarta ditetapkan sebagai ibukota Keresidenan Karawang, 1854 silam.
Menurut cerita masyarakat sekitar, salah satu bangunan dulunya toko sepatu terbesar di Purwakarta, namanya “Janam” milik Cina. Sedangkan satunya lagi, merupakan toko kamera milik Jepang.
Pada perkembangannya, gedung ini berubah-ubah pemilik dan peruntukkan, namun tidak mengalami perubahan fisik bangunan. Gedung ini pernah digunakan untuk markas Badan Keamanan Rakyat (BKR), sekretariat koperasi, PWI, dan banyak lagi.
Terakhir dan sampai saat ini, memasuki kepemimpinan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, gedung ini diambil alih oleh Pemda Purwakarta dijadikan kantor dan beberapa museum digital.
Masjid Agung Purwakarta didirikan hampir bersamaan dengan pendopo. Di Pulau Jawa, setiap kota tradisional yang didirikan sebagai pusat pemerintahan kabupaten, memiliki komponen utama berupa pendopo, alun-alun, dan masjid agung.
Masjid ini dibangun pada 1830 dan dikelola oleh Baing Yusuf sampai menjelang wafatnya pada 1856. Pengelolaan masjid itu kemudian dilanjutkan oleh keturunan Baing Yusuf, yaitu Kiyai Haji R. Marjuki (Baing Marjuki) sampai 1937.
Sejak pertengahan abad ke-19 sampai sekarang, Masjid Agung Purwakarta mengalami beberapa kali renovasi.
Pada masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang, Masjid Agung adalah satu-satunya bangunan fasilitas kota yang tidak diganggu atau diduduki penjajah. Hal itu terjadi karena penjajah khawatir akan menimbulkan gerakan Islam yang kuat dan besar untuk menentang penjajah.
Setelah Indonesia merdeka, Masjid Agung Purwakarta kembali mengalami beberapa kali renovasi. Renovasi besar-besaran terjadi pada 1979 dan terakhir mengalami pemugaran pada zaman Bupati Bunyamin Dudih.
Meski berkali-kali direnovasi, dan bahkan akhirnya dipugar, masjid itu tetap bernilai sejarah. Satu hal yang memperkuat nilai sejarah situs masjid ini adalah keberadaan makam Bupati RTA Gandanegara di halaman belakang masjid. RTA Gandanegara merupakan Bupati Karawang ke-15 (1911–1925) yang berkedudukan di Purwakarta.
Di situs Kementerian Agama RI, hal itulah yang menjadi alasan kuat untuk tidak memindahkan masjid. Kini, Masjid Agung Purwakarta dikenal dengan sebutan Masjid Agung Baing Yusuf Purwakarta.
7. Normal School Purwakarta
Bangunan peninggalan zaman Belanda lainnya adalah Normal School yang kini berubah menjadi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Purwakarta. Belum jelas tahun dibangunnya gedung ini.
Namun, beberapa literasi menyebutkan Normal School didirikan oleh seorang misionaris Jesuit bernama Fransiscus Georgius Josephus van Lith atau Romo van Lith. Dia tidak menyukai penjajahan sehingga mendirikan Normal School atau sekolah guru untuk penduduk pribumi Jawa.
Kini, bangunan tersebut masih terlihat di UPI Purwakarta. Beberapa gedung lama pun masih terlihat di universitas di sana.
RENI SUSANTI/KONTRIBUTOR PURWAKARTA