PURWAKARTA, KOMPAS.com – Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi ternyata punya cerita dengan pelaku aksi terorisme. Bukannya menghakimi, Dedi malah berniat menjadikan orang itu sebagai narasumber. Kok bisa?
“Dulu saya akan membuka Sekolah Ideologi dan sibuk mencari narasumber. Lalu saya mendapat informasi tentang Agus Marshal, mantan terpidana teroris yang tinggal di Purwakarta,” ujar Dedi mengawali penuturannya kepada Kompas.com, Selasa (28/2/2017).
Agus adalah mantan terpidana kasus terorisme. Dia ditangkap polisi sesudah beraksi dalam perampokan di Kali Asin-Cikampek untuk pendanaan pelatihan militer di Aceh pada 2010.
Menurut Dedi, waktu itu menemui Agus bukan hal gampang. “Agus saat itu sangat tertutup, kaku, berbeda sekali dengan sekarang,” imbuhnya.
Sampai perlu meminta bantuan pengurus RT, pertemuan Dedi dengan Agus pun terjadi juga. Di situ, Dedi menawari Agus menjadi narasumber Sekolah Idealisme.
Agus diminta membagi pengalaman bagaimana ia bisa mengikuti pendidikan radikalisme dan kemudian berbagi cara mencegah hal serupa terjadi pada orang lain.
“Awalnya saya berpikir Agus ini hanya ikut-ikutan menjadi radikal. Setelah mengobrol ternyata dia cerdas. Pemahaman ideologinya kuat. Mungkin itu yang menjadikannya pemimpin pengajian di Cikampek waktu itu,” papar Dedi.
Menurut Dedi, Agus tidak serta-merta menerima ajakan Dedi. Setelah dibujuk beberapa saat, barulah Agus bersedia.
“Lalu saya tanya tentang kehidupan pribadinya. Rupanya ia kesulitan secara ekonomi. Karena saya tidak ingin dia kembali ke kelompok sebelumnya, saya pun membantunya,” tutur Dedi.
Tawaran pekerjaan pun disodorkan Dedi ke Agus. Namun, ujar dia, tawaran itu ditolak. Ketika ditanya, lanjut Dedi, lelaki asal Jakarta itu menyebut keinginan membuka warung nasi.
Dari permintaan itu, Dedi memberi Agus modal Rp 20 juta. Sayangnya, warung itu gulung tikar. Agus bahkan sempat berniat menjual rumah, yang kabarnya didengar Dedi.
Dedi memanggil kembali Agus. Melalui perbincangan singkatnya, Dedi memutuskan mengangkat Agus menjadi pengawas petugas kebersihan Sadang-Cibening, Purwakarta per 1 Maret 2017, dengan honor Rp 2 juta per bulan.
Selain itu, Agus pun akan menjadi pengajar tetap di Pancasila Institut milik Pemkab Purwakarta. Untuk pekerjaan ini, Agus akan mendapat honor Rp 1,5 juta per bulan.
Butuh solusi tuntas
Menurut Dedi, problem di Indonesia secara umum rajin menangkap pelaku pelanggar hukum. Namun, orang itu lalu dilepas begitu saja setelah usai menjalani masa hukuman. Akibatnya, pelanggaran hukum pun diulang lagi karena terdesak kebutuhan hidup.
Dedi mengatakan, orang yang secara psikologi galau, akan cenderung kembali mencuri jika sebelumnya dia pencuri. Begitu juga dengan pelaku aksi terorisme, sebut dia, bisa kembali lagi ke kelompoknya.
Kondisi ini, ujar Dedi, tidak menyelesaikan masalah. Menurut dia, penyelesaian tantangan ini bisa didapat dengan menitipkan "para mantan" itu untuk mendapatkan pembinaan. Misal, sebut dia, ke Kodim atau Polres jadi petugas kebersihan, dengan program kerja sama.
“Kalau saya inisiatif saja. Sebagai tanggung jawab kepada negara, saya membina Agus. Yang satu lolos di Bandung (Yayat-terduga pelaku teror bom panci di Bandung), kalau di Purwakarta saya beri modal,” ucapnya.
Selama ini, pengetahuan tentang terorisme hanya diketahui oleh aparat seperti Densus 88. Padahal, kata dia, sebaiknya kepala daerah juga punya pengetahuan itu agar bisa melakukan pembinaan selepas si pelaku keluar dari penjara.
Dedi menilai, persoalan radikalisme harus diselesaikan hingga tuntas. "Cari akar permasalahannya dan selesaikan bersama-sama," tegas dia.
Jika persoalannya di anggaran, ia yakin APBD kabupaten kota dan provinsi, apalagi APBN, cukup untuk itu.
"Itulah mengapa saya luncurkan Sekolah Ideologi, Pancasila Institute, Satgas Toleransi, salah satu tujuannya untuk deradikalisasi, sebagai pencegahan," tutur Dedi.
Agus pun tak membantah cerita dan pendapat Dedi. Selama ini, ujar dia, penanganan terorisme masih parsial.
“Apa yang dilakukan Purwakarta bisa menjadi prototype penanganan terorisme secara menyeluruh,” kata Agus.
(RENI SUSANTI)