KOMPAS.com – Coba tanya ke beberapa orang, apa yang mereka tahu tentang Purwakarta? Sebagian besar akan menjawab Sate Maranggi.
Ya, Sate Maranggi memang makanan khas Purwakarta, Jawa Barat. Di mana pun kaki melangkah di Purwakarta, pelancong akan dengan mudah menemukan penjual sate ini.
Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi mengatakan, ada lima jenis Sate Maranggi yang berkembang berdasarkan wilayah. Pertama, Maranggi Plered atau yang berkembang di Kecamatan Plered.
Ukuran daging Maranggi Plered agak kecil. Bumbu yang digunakan hanya kecap. Saat disantap, sate ini dilengkapi dengan nasi, bumbu kecap, cabai rawit, dan garam.
"Plered ini tempat pertama kali Sate Maranggi berkembang," tutur Dedi kepada Kompas.com di Purwakarta, Selasa (6/12/2016).
Kedua, Sate Maranggi Cikubang-Wanayasa. Jenisnya hampir mirip dengan Plered. Hanya, bentuk daging sate ini lebih kecil dan tidak memasukkan bagian lemak.
Sementara itu, Maranggi ketiga dan yang terkenal di mana-mana adalah Maranggi Cibungur. Ukuran sate maranggi ini lebih besar, tidak memasukkan bagian lemak.
Adapun maranggi keempat adalah Maranggi Bojong yang biasanya bisa diperoleh di tukang pikul. Berbeda dengan maranggi lain yang menggunakan nasi, Bojong menggunakan ketan bakar yang ditambah oncom.
"Tiap daerah punya cita rasa tersendiri. Sate maranggi di kelima daerah ini rasanya beda, bumbu pendampingnya beda, jumlah daging yang ditusukannya pun beda. Ada yang hanya menggunakan daging, ada pula yang memasukkan bagian lemak," tutur Dedi.
Meski memiliki ciri khas, namun cara memasaknya memiliki standar yang sama. Yakni, daging segar dicampur daun pepaya agar empuk. Setelah itu dipotong, ditusuk, dibakar, dan diberi bumbu yang sederhana, namun nikmat di lidah.
"Kuncinya, daging harus segar, menggunakan daun pepaya, dan dibakar menggunakan arang. Dengan begitulah rasanya akan keluar. Kalau dagingnya dari freezer dan dibakar dengan selain arang, rasanya berubah," tuturnya.
Saat ini makanan kebanggaan Purwakarta itu sudah mendunia. Di Purwakarta sendiri, ada sekitar 1.000 pedagang Sate Maranggi.
"Kalau 1.000 pedagang ini menghidupi 10 orang, berarti ada 10.000 warga yang menggantungkan hidup dari Sate Maranggi. Itu sama dengan buruh di satu pabrik," ujar Dedi.
Jumlah tersebut belum termasuk pemasok bahan sate maranggi. Seperti daging sapi, daging kambing, daging ayam, gula, garam, tusuk bambu, cabai rawit, beras, daun pisang, dan lainnya.
"Sate Maranggi menciptakan multiplier effect, bahkan bisa dibilang sudah industri makanan," kata Dedi.
Sebenarnya, sambung Dedi, Sate Maranggi tumbuh pesat beberapa tahun ini. Dia masih ingat, ketika zaman kuliah, jarang sekali ada penjual Sate Maranggi. Yang diingat adalah penjual sate saat itu ada di perempatan Cianting.
Seiring waktu, bertambahlah pedagang di Cikubang, milik Abah Ajuk. Setelah itu ada sate Maranggi Cibungur.
"Yang terkenal duluan kelapanya di Cibungur itu, baru satenya," terangnya.
Dedi melihat, Maranggi memiliki potensi besar. Itulah sebabnya dia membuat beberapa festival setiap tahun untuk mendekatkan sate ini dengan masyarakat, seperti Festival Kampoeng Maranggi di Plered, Purwakarta.
Dedi juga mendorong penjagaan kualitas dan memperkenalkan Sate Maranggi ke berbagai tempat di Indonesia, bahkan dunia.
"Sate Maranggi sudah masuk ke Istana negara hingga Amerika," katanya.
Di Amerika, konsep penjualan Sate Maranggi dalam bentuk food truck. Dari laporan yang diterimanya, penerimaan warga Amerika terbilang baik.
Setelah Sate Maranggi naik kelas, penjualnya pun menjamur, bahkan sampai di hotel. Walau demikian, Dedi mengaku tidak menjamin rasa sate Maranggi di hotel akan sama, karena Maranggi membutuhkan daging segar.
"Tidak enak kalau daging dari freezer, harus daging segar. Bahkan, biasanya dagingnya digantung," tutupnya.
RENI SUSANTI/KONTRIBUTOR PURWAKARTA