BOJONEGORO, KOMPAS.com – Peneliti sosial Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama (KBB) Setara Institute, Halili Hasan, memperlihatkan paparan slidenya di depan peserta Festival HAM 2016. Seusai membacakan paparannya, dia melihat Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi.
"Ini di Jawa Barat lho, tempatnya Pak Dedi," ujar Halili pada Festival HAM 2016 di Bojonegoro, Kamis (1/12/2016).
Sambil tersenyum Dedi pun menjawab, "Di Purwakarta tidak begitu," tuturnya.
Slide tersebut menggambarkan penelitian yang dilakukan Setara Institute selama 2007-2015. Hasilnya menunjukkan Jawa Barat selalu menjadi juara umum dalam intoleransi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
Data Setara Institut, tujuh daerah di Jabar masuk dalam 10 besar kota toleran terbawah di Indonesia. Yaitu Bogor, Bekasi, Depok, Bandung, Sukabumi, Banjar, dan Tasikmalaya. Mulai dari rumah ibadah, beasiswa dengan syarat diskriminatif, hingga layanan pendidikan keagamaan.
Namun, persoalan tersebut tidak terlihat di Purwakarta. Halili mengatakan, Dedi memiliki keberanian dalam membangun toleransi di daerahnya, meskipun tingkat intoleransi di provinsinya tinggi.
"Saya salut keberanian Bupati Dedi, yang berani menegakkan toleransi di tengah juaranya Jawa Barat dalam intoleransi," terangnya seusai seminar.
Salah satu bentuk keberanian Dedi adalah memberikan layanan pendidikan beragama bagi seluruh siswa muslim dan nonmuslim.
"Ini bentuk layanan pendidikan yang seharusnya dilakukan negara," terangnya.
"Langkah yang tepat sehingga sejak dini ditumbuhkan rasa toleransinya sehingga bisa meminimalisir sikap-sikap intoleran," tuturnya.
Sebab, lanjut dia, hasil penelitiannya menyebutkan bahwa aktor tertinggi pelaku pelanggaran adalah pemda. Karena itu, untuk melawan intoleransi dibutuhkan kekuatan sipil yang tidak bersikap toleran pada kelompok-kelompok intoleran.
Apalagi, sambung Halili, kelompok intoleran biasanya berasal dari luar daerah tersebut. Dari beberapa kasus intoleran, pelakunya merupakan orang yang sama meskipun berbeda daerah. Namun, warga yang mengetahui hanya diam.
"Inilah yang harus didorong agar masyarakat membangun civilitas," ujarnya.
Sunda sangat toleran
Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi mengeluarkan beberapa kebijakan untuk membangun toleransi. Di antaranya Satgas Toleransi Agama/Keyakinan, surat edaran Jaminan Beribadah dan Berkeyakinan, serta menambah fasilitas ruang ibadah sesuai keyakinan/kepercayaan masing-masing.
Kebijakan tersebut salah satunya diturunkan karena dalam sejarah dan keberadabannya orang Sunda merupakan suku bangsa yang sangat toleran.
"Sebagai orang yang tinggal di daerah pegunungan dan dataran masyarakat Sunda itu terinspirasi prinsip-prinsip air. Yakni, berwatak dingin, jernih, mengalir mengikuti kelok dan lekuk yang ujungnya melahirkan karakter masyarakat Sunda yang lembut, terbuka dan menyejukkan," tuturnya.
Begitu juga dalam sejarah peradabannya. Menurut Dedi, masyarakat Sunda tidak memiliki sifat merebut, mendominasi, dan menguasai, sehingga tidak ada catatan buruk sejarah yang bersifat imperium dalam karakter kepemimpinan dan kemasyarakatan.
Sifat terbuka masyarakat Sunda ini melahirkan sistem kehidupan berbasiskan silih asah, silih asih, silih asuh; saling mencerdaskan, saling mengasihi, dan saling mengayomi. Sifat tersebut melahirkan perilaku sosial nulung kanu butuh, nalang kanu susah, nganteur kanu sieun, nyaangan kanu poékeun, yang artinya menolong pada yang memerlukan, memberi pada yang kesusahan, memberi cahaya kepada yang mengalami kegelapan.
Sistem yang terbuka ini pun memberikan ruang yang luas pada kaum migran untuk hidup secara damai di tanah Sunda. Itu terlihat dari berdirinya berbagai tempat ibadah yang ada di tanah Sunda yang identik dengan Jawa Barat.
Namun, sifat diam dan cenderung menghindari kegaduhan orang Sunda dengan prinsip caina hérang, laukna beunang atau airnya jernih, ikannya dapat telah melahirkan sebuah kultur masyarakat yang terdominasi iklim perubahan.
Kegaduhan "intoleransi" pun muncul. Ini bisa karena pengaruh karakter migran atau masyarakar urban. Atau, bisa juga karena saking tolerannya masyarakat Sunda.
Saat ini, Jabar dikritik karena intoleran dan sudah risiko sebagai orang Jabar, Dedi harus menerima kritik tersebut.
"Masalah toleransi berkaitan juga dengan psikologi kepala daerah. Ada yang berjalan dengan ideologi Pancasila, ada pula yang menjaga popularitas sehingga memberi stigma negatif," ucapnya.
Menurut Dedi, kedua prinsip itu harus segera diterobos. Cara menumbuhkan toleransi lainnya adalah sikap tegas TNI/Polri terhadap kelompok intoleran.
Pertahanan TNI/Polri yang kendur membuat isu-isu sara tumbuh. Sedangkan masyarakat tidak memiliki cengkaraman kuat terhadap kelompok intoleran yang memiliki agresivitas tinggi.
"Mestinya dihadapi aparat. TNI/Polri merupakan institusi ideologis yang tidak terkena politis, harusnya bisa," tutupnya.
RENI SUSANTI/KONTRIBUTOR PURWAKARTA