PURWAKARTA, KOMPAS.com – Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi setuju wacana penghapusan Ujian Nasional (UN). Bahkan, dia meminta penyederhanaan kurikulum di Indonesia.
"Pendidikan tidak bisa disentralisasi dalam menilai tingkat kualifisikasi siswa. Konsep penghapusan UN strategis dalam menumbuhkan keunggulan siswa," ujar Dedi di Purwakarta, Senin (28/11/2016).
Dedi menjelaskan, ketika UN dihapus, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) harus membuat kualifikasi untuk menilai kemampuan siswa. Ia menyarankan dua hal dalam penilaian, yakni budi pekerti dan nilai akademis yang berbasis aplikatif atau keahlian.
"Seperti Finlandia, UN di sana hanya bahasa nasional dan keahlian khusus. Kita bisa belajar dari Finlandia," ucapnya.
Purwakarta menerapkan hal tersebut dalam pendidikan klub sepakbola ASAD. Anak-anak yang mahir dalam sepakbola itu kini mendapatkan pendidikan khusus di SMPN 6 Purwakarta.
Mereka, hanya menerima tiga mata pelajaran utama, yakni sepakbola, bahasa Inggris, dan keagamaan.
"Bahasa Inggris diberikan, karena mereka sering main di berbagai negara. Keagamaan untuk budi pekerti mereka," terangnya.
Kini, anak-anak tersebut kerap dibidik klub-klub negara maju. Jika sistemnya hanya untuk beberapa bulan, Pemkab Purwakarta mengizinkannya. Namun, jika menetap, mereka tidak mengizinkannya, lantaran anak-anak itu masih memerlukan pendidikan budi pekerti.
"ASAD rata-rata dari kampung, namun mereka bisa dibandingkan dengan klub ternama, termasuk hampir mengalahkan tim nasional (Indonesia). Kemarin tiga anak terpilih klub Inggris untuk latihan di sana," imbuhnya.
Selain ASAD, Purwakarta berupaya memberikan pendidikan aplikatif bagi siswanya. Seluruh pelajaran harus terintegarsi dan mampu menjawab tantangan ke depan. Misalnya, belajar matematika, fisika, dan kimia dengan cara menghitung jalan.
Atau, menghitung jendela kayu misalnya. Siswa akan menjelaskan jenis kayu, umurnya, dan kekuatannya. Agar kekuatan jendela kayu bertambah, perlu ditambah zat kimia yang diperoleh dari cat dengan kandungan tertentu.
"Itu yang diajarkan. Sederhana dan aplikatif. Jangan toge lagi, toge lagi. Dari saya sekolah sampai sekarang, yang diajarkan hanya menanam kacang hijau di kapas hingga berubah jadi toge," terangnya.
Dedi mengingatkan, keahlian saat ini diperoleh dari luar sekolah. Orang bisa mendirikan bangunan, memasak, beternak, fermentasi, ilmu genetika, bahkan jadi pengusaha dari lingkungannya, bukan dari sekolah.
Padahal, pendidikan tersebut bisa terintegasi dengan sekolah. Namun, untuk menciptakan hal tersebut, diperlukan perombakan metodologi pendidikan guru.
"Problema pendidik kita saat ini, mereka kurang kreatif karena terbebani aspek administrasi. Mulai dari ngurus pangkat, kenaikan golongan, dan lainnya," imbuhnya.
"Karena itu, saya sepakat UN SD-SMP dihapus. UN sebaiknya hanya diberlakukan untuk SMA yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi," tuturnya.
Adapun SD dan SMP cukup dengan ujian di tingkat sekolah dengan tetap menerapkan sistem kelulusan. Untuk masuk ke SMP tidak perlu menggunakan nilai akhir Nilai Ebtanas Murni (NEM), tapi berdasarkan rayonisasi.
"Kalau sekolah negerinya tidak cukup, itu sudah kewajiban sekolah untuk menyediakan infrastruktur pendidikan. Kalau mahal, bisa mengubah sekolah swasta menjadi negeri. Perguruan tinggi saja bisa menegerikan swasta, maka SD-SMA juga bisa," terangnya.
Sekolah juga harus menyenangkan. Itulah alasannya pendidikan di Purwakarta, terutama di pedesaan, banyak belajar di luar kelas.
RENI SUSANTI/KONTRIBUTOR PURWAKARTA