KOMPAS.com – Ratusan siswa SMPN 1 Purwakarta, Jumat (11/11/2016), memenuhi lapangan sekolah. Usai shalat duha, mereka masing-masing memegang Al-Quran dan mendengarkan ceramah guru agama Islam.
Sekitar lima meter dari situ, terlihat Ni Putu Trisna Ayu (13). Dia menundukkan kepalanya, memejamkan mata dan tenggelam dalam doanya di ruang ibadah Hindu SMPN 1 Purwakarta. Ayu, biasa gadis itu disapa, tampak tenang dan khusyuk. Mulutnya terus melafalkan doa.
Sementara itu, Desy Anggraeni (13) dan Minarsih (40), tengah menikmati kegiatan belajar mengajar (KBM) agama Budha di ruang ibadah yang berada persis di samping ruang ibadah Hindu.
"Mari silahkan masuk. Ini ruang ibadah kami di sekolah. Sayang sekali, patungnya lagi dipinjam kemarin pawai, jadi ruang ibadahnya terlihat kosong," ujar pengajar rohani Budha, Minarsih kepada Kompas.com.
Ruangan tersebut berukuran sekitar 4x4 meter. Di salah satu sisi ruangan terdapat sebuah meja yang seharusnya berisi patung.
"Ini ruangan kami. Di samping ada ruang ibadah Hindu. Di depan sana ada mushola. Kalau ruang ibadah Katolik dan Protestan ada di lantai dua," tutur Minarsih sambil menunjukkan berbagai ruang ibadah di SMPN 1 Purwakarta.
Minarsih bercerita, penambahan fasilitas ruang ibadah untuk nonmuslim baru diberlakukan tahun ini. Baginya dan pelajar non muslim di Purwakarta, ini suatu hal yang menggembirakan. Saking gembiranya, ia tidak bisa menggambarkan perasannya.
"Perasaan saya campur aduk, antara tidak menyangka, senang, sekaligus bangga. Bangga, minoritas diberi hak yang sama di Purwakarta. Padahal, siswa beragama Budha di sini hanya satu orang, begitu juga Hindu," tuturnya.
Selama ini, siswa nonmuslim hanya mengikuti kurikulum yang ada. Di sekolah negeri, ketika pelajaran agama Islam, biasanya siswa non muslim ikut mendengarkan atau keluar ruangan.
Bahkan, di salah satu sekolah swasta, anak didiknya yang beragama Budha harus mengikuti mata pelajaran agama orang lain. Jika tidak, siswa Budha tidak akan mendapatkan nilai agama dan tidak lulus sekolah.
"Akhirnya, anak-anak harus belajar dua agama, dua kali ujian, yaitu ujian agamanya dan agama yang dianut mayoritas sekolah tersebut. Anak-anak belajar double. Untungnya tidak ada yang berubah keyakinan," tuturnya.
Baginya kebijakan itu adalah harapan baru. Dulu, untuk mendapatkan pelajaran agama, pelajar nonmuslim harus datang ke tempat ibadah masing-masing dengan jadwal yang sudah ditentukan. Sekarang, pelajar nonmuslim sama halnya seperti pelajar muslim, bisa belajar agamanya ketika jam pelajaran.
Lewat kebijakan saat ini, keberagaman menjadi soal penting yang diajarkan sejak dini kepada anak-anak. Dengan cara itulah anak-anak terbiasa dan bisa menerima perbedaan sebagai hal yang indah di masa depan.
Ni Putu Trisna Ayu (13) selesai dengan doanya. Dia keluar dari ruang ibadah Hindu dan menyapa kakak kelasnya yang beragama Budha.
"Hallo kak...," sapa Ayu kepada Desy Anggraeni, siswi penganut agama Budha.
Setelah saling menyapa, mereka terlihat berbincang akrab beberapa saat. Setelah itu, Ayu pamit untuk masuk ke kelasnya. Di kelas, Ayu terlihat mengobrol dengan beberapa teman muslimnya dengan begitu akrab.
"Desta, Febi, dan Servira itu sahabat saya. Mereka muslim," ucapnya.
Hampir setiap hari Ayu dan para sahabatnya itu bermain bersama. Mereka saling membantu dalam pelajaran. Bahkan, ketika Ayu tidak masuk, teman-temannya akan meminjamkan catatan dan mengajarkannya.
"Kalau pulang sekolah, mereka sering main ke rumah. Saya juga sering main ke rumah mereka," ujar Ayu.
Kali pertama main ke rumahnya, temannya penasaran dengan kamar tempat sembahyang di rumah Ayu. Mereka pun bertanya, untuk apa bunga dan dupa. Lalu, bagaimana ibadah orang Hindu, cara berdoa, Tuhan mereka, dan lain-lain.
"Saya menjawab dan menjelaskan semua yang mereka tanyakan. Mungkin, mereka penasaran dengan Hindu. Kalau saya kan sudah terbiasa mendengar soal Islam di sekolah," tuturnya.
Ayu mengatakan, saling berbagi informasi tentang agama bagi mereka hanya untuk pengetahuan dan menghilangkan rasa penasaran. Selebihnya, mereka menghabiskan waktu bersama untuk bermain, belajar, mengobrol berbagai hal.
"Kami ngobrol apapun, termasuk soal cowok," ucap Ayu sambil tertawa.
Bagi Ayu, dia dan teman-temannya tidak mencari teman berdasarkan agama. Apalagi, baik di rumah maupun sekolah, mereka diajarkan menerima perbedaan. Seperti yang sering dikatakan ibunya untuk tidak mengejek orang lain. Kalaupun ada orang yang mengejeknya, dia sebaiknya memilih diam.
Tak hanya Ayu. Desy dan Muhammad Ridwan merasakan hal serupa. Mereka tidak masalah dengan perbedaan agama. Bagi mereka, persahabatan itu tidak melihat agama.
"Saya punya teman Islam banyak, biasa saja. Kami saling tolong menolong, makan bareng, jalan-jalan bareng. Mereka kadang penasaran, kenapa Budha menyembah patung. Buat apa patun dan makanan," kata Desy.
Desy lalu menjelaskan, patung maupun makanan hanya simbol. Intinya, dia sama halnya dengan temannya yang muslim atau agama lainnya; menyembah Tuhan.
Muhammad Ridwan juga bicara hal yang sama. Saat ini dia berteman akrab dengan salah satu siswa Katolik. Tak ada yang berbeda dengan itu, walaupun dirinya sempat mengaku merasa aneh dengan berbagai ruangan rohani di sekolahnya.
"Awalnya sempat aneh ada ruang ibadah agama lain. Tapi, lama-kelamaan jadi biasa dan tidak masalah," terangnya.
Kepala SMPN 1 Purwakarta, Heri wijaya mengatakan bahwa sekolah menjadi salah satu tempat bertoleransi. Apalagi, dengan beberapa kebijakan baru yang diterapkan Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, anak-anak menjadi terbiasa dengan perbedaan.
"Dari dulu siswa muslim melaksanakan shalat duha dan mengaji bersama. Senin-Kamis, shalat dilaksanakan selepas jam istirahat. Kalau hari Jumat sebelum masuk sekolah di lapangan. Selain shalat dan mengaji, mereka mendapat siraman rohani," ujarnya.
Mulai November ini, para pelajar nonmuslim akan mendapat pengajaran serupa dari guru rohaninya di jam yang sama.
Kebijakan baru
Mulai tahun ajaran baru, Pemkab Purwakarta memang mengeluarkan beberapa kebijakan baru terkait keberagaman di sekolah. Beberapa kebijakan itu termasuk penambahan fasilitas ruang ibadah bagi pelajar nonmuslim, penyamaan kegiatan keagamaan untuk pelajar nonmuslim, serta penyediaan guru rohani.
"Ada penambahan 582 guru rohani dari berbagai agama. Ada 551 guru muslim, 25 guru Katolik dan Protestan, tiga guru Hindu, dan tiga guru Budha," ucap Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi.
Saat ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) Purwakarta dan tokoh lintas agama tengah melakukan penyaringan. Pemkab Purwakarta menarget pada Desember ini program tersebut sudah berjalan. Untuk muslim, para guru tersebut akan mengajarkan pengkajian Al-Quran, kitab kuning, dan berbagai wawasan keagamaan Islam.
Untuk nonmuslim pun demikian. Guru rohani akan mengajarkan lebih mendalam tentang kitab-kitab di agamanya. Semua itu dilakukan bersamaan di semua sekolah dan dalam waktu yang sama.
Dedi mengatakan kebijakan tersebut merupakan bagian dari pendidikan karakter. Selain membuat siswa lebih memahami agamanya, anak-anak diajak untuk menerima perbedaan sejak dini sehingga muncul keharmonisan dalam perbedaan.
Purwakarta memang tengah bekerja keras menanamkan toleransi sejak dini. Selain menginisiasi beberapa program seperti botram (makan bersama), siswa lintas agama hingga rencana camping bersama, Dedi mengajak siswa mencintai toleransi.
Pada ulang tahun SMAN 2 Purwakarta lalu bahkan disisipkan Pameran Kebhinekaan. Acara itu dimulai dengan teaterikal tentang kerukunan umat bergama dan tarian dari berbagai daerah. Di acara itu Dedi mengajak siswa berulang kali berkata "kami cinta toleransi" dan dengan riang gembira serta semangat, ratusan siswa pun mengatakan, "Kami cinta toleransi."
RENI SUSANTI/KONTRIBUTOR PURWAKARTA