PURWAKARTA, KOMPAS.com – Tiga orang siswa dan satu pembimbing mengelilingi alat tenun di sebuah ruangan di SMPN 8 Purwakarta. Tak berapa lama, pembimbing tersebut duduk di depan tenun, meluruskan kakinya dan menyimpan alat tenun di atas kakinya.
Pembimbing itu lalu mulai menenun. Dia masukkan kayu pendek di tengah benang, kemudian menarik kayu tersebut ke bagian bawah hingga padat. Susunan kain yang telah padat tersebutlah yang disebut tenun.
Sebenarnya, tenun sudah menjadi bagian dari sejarah Purwakarta. Pada 1950-an, beberapa daerah di Purwakarta, yakni di Kebon Jahe dan Leuwi Panjang, merupakan daerah pembuatan tenun.
Seiring perkembangan zaman, lambat laun peminat tenun Purwakarta berkurang. Hingga akhirnya, pelaku usaha tenun menyerah dan menutup tokonya.
"Tutupnya sekitar tahun 1980-an akibat sepinya pembeli," ujar Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi di SMPN 8 Purwakarta, Kamis (17/11/2016).
Berdasarkan informasi yang diperolehnya, sambung Dedi, Purwakarta memiliki motif tenun tersendiri. Namun, ia belum melihat motif tersebut.
"Mungkin, masih ada di rumah-rumah perajin tenun zaman dulu," terangnya.
Untuk menghidupkan kembali tenun, Dedi menerapkan kelas tambahan menenun untuk siswa SD-SMA negeri di Purwakarta. Pihaknya menyiapkan semua peralatan tenun sehingga sekolah hanya tinggal menjalankan kurikulum tambahan tersebut.
"Untuk mengajarkan tenun, saya sengaja mendatangkan penenun dari Baduy," imbuhnya.
"Jangan salah, menenun tidak hanya ilmu membuat kain tenun. Menenun itu juga mengajarkan kesabaran, ketekunan, dan ketelatenan. Ini penting agar siswa lebih tekun dan mengisi waktunya lebih positif, daripada hanya main gadget," terangnya.
Menenun sendiri, sambung Dedi, merupakan bagian dari pendidikan berkarakter yang sudah lama diterapkan Purwakarta. Menenun menjadi kelas tambahan untuk siswa perempuan. Sedangkan yang laki-laki menggembala kambing atau mengurus hewan ternak.
Perajin tenun dari Baduy, Sarip mengaku, berada di Purwakarta karena undangan dari Dinas Pendidikan Purwakarta. Pihaknya akan mengajar di Purwakarta sekitar satu pekan.
"Kalau siswanya punya kemauan keras untuk belajar, dalam beberapa hari saja sudah bisa,” ucapnya.
Ada dua ukuran kain tenun yang dibuat. Pertama berukuran 2 meter x 1 meter yang biasanya membutuhkan waktu satu minggu membuatnya. Kedua, ukuran 2 meter x 25 cm yang selesai dalam tiga hari. Namun, itu hitungan perajin profesional.
"Kalau di Baduy kain tinun (tenun) ukuran 1x2 meter harganya Rp400.000 per helai. Saat ini ada 17 motif yang dimiliki Baduy,” katanya.
Lusi (14), salah seorang pelajar SMPN 8 Purwakarta, menuturkan kegembiraannya. Dia gembira karena telah berhasil membuat satu kain tenun yang diapresisasi guru dan ibunya di rumah.
"Pelajarannya asyik. Kainnya juga khas. Ini belajar membuat pola, dan baru bisa berhasil membuat satu," ujarnya.
RENI SUSANTI/KONTRIBUTOR PURWAKARTA