PURWAKARTA, KOMPAS.com – Orang Sunda punya istilah tersendiri untuk menggambarkan suatu wilayah yang punya fasilitas berharga tetapi warga di sekitarnya malah tak bisa menikmati manfaatnya. “Kahieuman bangkong”, bunyi istilah itu.
Selama lebih dari 50 tahun, istilah tersebut boleh jadi tepat dikenakan untuk menggambarkan kondisi warga yang tinggal di sekitar Waduk atau Danau Ir H Djuanda di Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat.
“Ironi. Wilayah penghasil listrik kok masyarakat sekitarnya tidak teraliri listrik," Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, Senin (7/11/2016).
Berdiri pada 1957, Waduk Jatiluhur menjadi sumber air bersih bagi banyak daerah, tak hanya Purwakarta, bahkan mayoritas mengalir ke DKI Jakarta.
Dari waduk yang sama, listrik pun dihasilkan. Tak lagi cuma sampai Jakarta, listrik dari Waduk Jatiluhur memasok hampir seluruh Pulau Jawa dan Bali. Rata-rata produksi tahunannya mencapai 187 mega Watt.
Belum lagi, aliran air dari waduk tersebut merupakan sumber irigasi bagi lahan persawahan mulai dari Cirebon, Indramayu, Subang, Karawang, hingga Bekasi. Daerah-daerah itu adalah lumbung padi nasional.
Namun, selama puluhan tahun, warga di sekitarnya seperti di Kecamatan Jatiluhur serta di sebagian Kecamatan Sukasari dan Tegalwaru, masih gelap gulita pada malam hari.
Pasokan listrik dari waduk, tak menjamah kawasan-kawasan ini. Sudah begitu, sebagian warga ketiga kecamatan tersebut bahkan masih kesulitan mendapat sumber air bersih.
“Bepergian pun (warga) harus menggunakan perahu (menyeberangi waduk) karena akses jalan tertutup hutan belantara,” imbuh Dedi.
Tak menyerah pada keadaan
Menggandeng warga dan TNI, Pemerintah Kabupaten Purwakarta membelah hutan. Mereka bergiliran bergotong royong, membersihkan lahan, membawa batu, dan kebutuhan lain, demi kehadiran Jalan Lingkar Barat Purwakarta.
Kolaborasi tersebut menjadi pilihan mengingat APBD Purwakarta relatif kecil. Tanpa dukungan warga, jalan yang menghubungkan Purwakarta dengan Karawang dan Cianjur ini akan lebih lama lagi bisa terwujud.
Untuk jalan ini, warga bahkan rela mendapatkan ganti rugi setelah proyek hampir selesai. “Dana pembebasan lahan sudah selesai, tinggal menunggu pembangunan jalan selesai,” papar Dedi.
Kini, sebagian besar jalan beton tersebut sudah jadi. Warga dengan mudah mengaksesnya.
Namun persoalan listrik masih jadi tantangan. Dedi pun mengaku sudah menyurati PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten (DJBB), meminta kelonggaran aturan untuk pemasangan listrik 4.600 warga di sekitar PLTA Jatiluhur dan Cirata.
“Kami dorong PLN untuk mempermudah aturan, karena warga sudah berkorban banyak untuk PLTA, untuk listrik di Jawa-Bali,” kata Dedi.
Surat tersebut menurut Dedi mendapat tanggapan positif. Bahkan, kata dia, PLN tidak hanya memberikan pasokan 900 Watt per rumah, tetapi 1.300 Watt.
Dengan terpasangnya listrik di 4.600 rumah warga di sekitar waduk, tingkat elektrifikasi di Purwakarta bisa mencapai 100 persen pada 2016.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk itu, ungkap Dedi, adalah program penertiban jaring karamba apung (KJA) Jatiluhur.
“Saat ini ada 23.000 KJA, idealnya 4.000. Kami akan tertibkan,” ungkapnya.
Keberadaan KJA yang berlebihan, papar Dedi, akan berdampak pada laju sedimentasi waduk dan kualitas air waduk.
“Air jadi asam dan itu itu akan mempengaruhi pembangkit. Tingkat korosivitas tinggi,” sebut dia.
“Tempat penginapan, tempat wisatanya akan diperbaiki dan ditata kembali,” terangnya.
Tak hanya itu, pihaknya pun berupaya agar pengelola Jatiluhur, PT Jasatirta II, bisa menjual listriknya langsung ke industri di Purwakarta. Dengan cara itu, harap dia, ongkos produksi industri di Purwakarta bisa ditekan karena biaya listriknya jauh berkurang.