BANYUMAS, KOMPAS.com - Hari Batik yang jatuh pada 2 Oktober saat ini mengingatkan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo akan tokoh revolusioner anti-apartheid Nelson Mandela.
Hal itu pula yang ia ceritakan saat bertemu pelajar SMA Negeri 1 Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah.
Ia mengatakan, mendunianya batik tak terlepas dari peran pemimpin Afrika Selatan tersebut karena kerap terlihat memakai kemeja batik lengan panjang saat menghadiri kegiatan-kegiatan internasional.
"Batik Nelson Mandela itu dari mana? Pekalongan, Jawa Tengah," ujarnya, Senin (2/9/2017).
Dalam pertemuan yang merupakan bagian dari program "Gubernur Mengajar" rutin tiap pekan tersebut, Ganjar bercerita kepada para pelajar bahwa batik menjadi pakaian yang terkesan sakral bagi warga Afrika Selatan.
Warga Afrika Selatan menilai pakaian tersebut merupakan pakaian khas Nelson, sosok yang disegani bagi mereka juga sebagai sosok yang patut ditiru.
"Nah, warga Afrika Selatan justru malah takut pakai batik karena mereka menyebut batik itu pakaian Mandela," ujarnya.
Usai bercerita, ia kemudian juga menguji pengetahuan para pelajar di sekolah tersebut tentang batik. Pertanyaan diberikan bagi siswa yang berani maju dan menyebutkan nama-nama corak batik.
Seorang pelajar bernama Ira kemudian memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan Ganjar.
"Motif megamendung, motif serayu. Motifnya kayak Sungai Serayu," ujar Ira.
Siswa lain bernama Aris lalu tiba-tiba muncul di belakang Ganjar sehingga membuatnya sedikit terkejut.
"Loh, kamu mau apa di sini? Mau jawab?" ujar Ganjar.
"Iya Pak, batik megamendung, batik awung," ujar Aris yang diikuti gelak tawa pelajar lain yang hadir. "Awung" yang disebutkannya kemungkinan besar adalah "kawung".
Para pelajar yang menjawab kemudian mendapatkan hadiah berupa buku, kaus, dan laptop.
Sebagai informasi, Hari Batik yang jatuh pada 2 Oktober ini merupakan hari ketika kain dengan corak khas tersebut diakui sebagai warisan budaya dunia yang berasal dari Indonesia.
Pengakuan berlaku sejak Badan PBB untuk Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan ( UNESCO) menetapkannya sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and the Intangible Heritage of Humanity) pada 2 Oktober 2009.