KOMPAS.com – Bupati Lamongan Yuhronur Efendi mengatakan, budaya merupakan jati diri dan kekayaan lokal yang harus dipahami dan dijadikan spirit oleh masyarakat dalam merekonstruksi kejayaan yang sudah ada sejak masa lampau.
Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lamongan berkomitmen melestarikan budaya, sejarah, dan adat istiadat yang sudah ada sejak zaman dahulu kepada masyarakat melalui literasi budaya.
" Literasi budaya khususnya tentang sejarah yang berkembang di Lamongan sangat penting untuk literasi pada masa depan,” ungkapnya saat membuka kegiatan Sarasehan Sejarah Gajah Mada bertema "Kebangkitan Nusantara Dari Bumi Lamongan" di Pendopo Lokatantra, Lamongan, Selasa (4/7/2023).
Bupati yang akrab disapa Pak Yes itu mengatakan, peradaban dunia yang terus berubah, juga akan membuat pola kehidupan sosial berubah.
Baca juga: Komitmen Bangun Ketahanan Keluarga, Pemkab Lamongan Raih Juara I iBangga Award 2023
“Jadi, literasi budaya harus dijadikan pedoman karena di dalamnya lekat jati diri dan spirit kejayaan yang sudah ada sejak dulu," katanya dalam siaran pers yang diterima Kompas.com.
Pada sesi tanggap sabda atau tanya jawab, Pak Yes mengungkapkan, Pemkab Lamongan akan terus memelihara budaya, situs, dan adat istiadat yang ada di Lamongan.
Selain untuk melestarikan peninggalan bersejarah juga diintegrasikan dengan pariwisata, kata dia, keberadaan situs-situs Hindu, Buddha, dan Islam di Lamongan juga mampu mendatangkan 4,7 juta wisatawan pada 2022.
Adapun sarasehan tersebut digelar oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Lamongan dengan mendatangkan arkeolog dari (UM) Dwi Cahyono.
Dwi menerangkan, Kabupaten Lamongan, tepatnya di wilayah selatan, merupakan pusat peradaban Hindu dan Buddha sehingga banyak ditemukan prasasti, candi, arca, dan situs lainnya.
Baca juga: Tradisi Warga Sedayulawas Lamongan, Gelar Kupatan di Gunung Menjuluk
"Tentu banyak sekali situs bersejarah di sana (Lamongan Selatan). (Adapun) penemuan situs yang tidak utuh sulit diidentifikasikan sehingga dari situ lahir cerita lisan atau cerita rakyat yang melekat dengan situs disana," terang Dwi.
Salah satu warisan tersebut ditemui di situs Gunung Ratu, Dusun Cancing, Kecamatan Ngimbang yang memiliki cerita rakyat tentang Dewi Andongsari.
Cerita rakyat tersebut dituangkan dalam buku "Dewi Andongsari Ratu Wilwatikta". Buku ini disusun oleh Paguyuban Wilwatikta yang merupakan gabungan dari 12 kelompok penghayat budaya,
Baca juga: Kisah Pasukan Bhayangkara dari Majapahit, Pasukan Elit yang Dipimpin Gajah Mada
Buku tersebut memuat isi Prasasti Sukamerta 1296 Masehi (M) dan Balawi 1305 M yang memiliki persamaan isi atau sama-sama menjelaskan keberadaan empat putri Raja Kertanegara yang diperistri Raden Wijaya.
Sementara itu, Prasasti Gajah Mada 1351 M dan Caitya (makam Singosari) dibuat Raja Gajah Mada sebagai penghormatan kepada Raja Kertanegara.
Prasasti itu menjawab gagasan bahwa Gajah Mada adalah anak Raden Wijaya dan Ratu Tribuana Neswari serta cucu Kertanegara karena bisa menorehkan titahnya dalam prasasti dan membangun candi makam untuk kakeknya.
Pakem cerita rakyat yang dipaparkan juga menerangkan bahwa Gajah Mada saat tua kembali ke pangkuan ibunya sampai akhir hayat dan dimakamkan di Gunung Ratu.
Baca juga: Benarkah Sumpah Palapa Diucapkan Gajah Mada?
Penemuan hamparan bata merah di sebelah timur Gunung Ratu juga memperkuat cerita tersebut.