JAKARTA, KOMPAS.com - Dinas Perhubungan (Dishub) Provinsi DKI Jakarta tengah mengupayakan perbaikan kualitas udara melalui pengoptimalan sektor transportasi. Salah satunya dengan memaksimalkan layanan transportasi yang terintegrasi untuk menurunkan penggunaan kendaraan pribadi.
Kepala Dishub Provinsi DKI Jakarta Syafrin Liputo menyatakan, pihaknya akan memperbaiki moda transportasi di Jakarta. Hal ini dilakukan untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi serta meminimalkan emisi gas rumah kaca (GRK).
"Saat ini, masalah yang sedang dialami adalah kemacetan yang menyebabkan polusi akibat penggunaan kendaraan pribadi yang masif. Sesuai dengan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2014, kami akan meningkatkan penggunaan kendaraan bermotor umum sebanyak 60 persen," kata Syafrin.
Upaya pertamanya dengan memaksimalkan integrasi transportasi lewat JakLingko. Untuk itu, Dishub Provinsi DKI Jakarta akan meningkatkan integrasi fisik, memperbanyak jadwal layanan, serta menganalisis tarif dan sistem pembayaran.
Baca juga: 2 Cara Top Up Kartu JakLingko, Bisa via Offline dan Online
"Tujuan dari integrasi JakLingko adalah untuk menjadikannya sebagai primadona angkutan massal agar penggunanya meningkat. Jika JakLingko nyaman digunakan, harapannya dapat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, sehingga kemacetan dapat menurun," lanjut Syafrin.
Selain itu, dengan sistem pembayaran dan tarif yang lebih baik, JakLingko dapat membantu penghematan biaya perjalanan. Menurut Syafrin, dengan semakin banyak masyarakat yang naik JakLingko, emisi gas buang akan berkurang, sehingga dapat menurunkan polusi udara di Jakarta.
Ia menambahkan, Dishub DKI Jakarta juga akan menambah jumlah armada bus listrik Transjakarta. Hingga Agustus 2023, sudah ada 52 bus listrik Transjakarta di berbagai rute. Direncanakan jumlah bus listrik akan bertambah sebanyak 100 unit pada akhir 2023.
"Rencananya, 10.047 bus listrik Transjakarta akan beroperasi pada 2030-an," ujar Syafrin.
Tidak hanya itu, Dishub Provinsi DKI Jakarta akan mengembangkan pula kawasan berorientasi transit oriented development (TOD) di beberapa titik. Salah satunya dengan menata kawasan stasiun melalui beberapa tahapan.
"Kawasan stasiun yang sudah diresmikan ada di Stasiun Tanah Abang, Sudirman, Senen, dan Juanda. Untuk penataan tahap kedua dan sudah selesai di Stasiun Tebet, Palmerah, Manggarai, Gondangdia, dan Jakarta Kota," ucap Syafrin.
Adapun penataan stasiun tahap ketiga, seperti di Jatinegara, Matraman, Cawang Cikoko, dan Juanda 2 masih dalam proses uji coba operasional.
"Pemprov DKI juga menargetkan akumulasi jumlah kawasan stasiun yang ditata adalah 18 buah pada 2022. Usulan penataan selanjutnya akan dilakukan di Stasiun Cikini, Pasar Minggu, Duren Kalibata, Klender, Grogol, dan Karet," imbuh Syafrin.
Baca juga: 5 Kawasan TOD di Sepanjang Jalur MRT Jakarta Dibangun, Ini Lokasinya
Transformasi jalur pedestrian pun akan menjadi perhatian Dishub Provinsi DKI Jakarta. Sejauh ini, area Dukuh Atas, Sudirman-Thamrin, Kendal, dan Thamrin 10 sudah bertransformasi menjadi jalur pejalan kaki yang ideal.
"Jika jalur kendaraan bertransformasi menjadi jalur pejalan kaki yang nyaman dan aman, akan terjadi perubahan paradigma dan gaya hidup warga Jakarta dalam bermobilitas," tutur Syafrin.
Hingga 2023, Dishub dan Dinas Bina Marga Provinsi DKI Jakarta menargetkan sekitar 70.000 meter persegi trotoar. Sementara, pada 2024, harus tersedia sekitar 115.000 meter persegi trotoar di Jakarta sebagai fasilitas untuk pejalan kaki.
Masyarakat Jakarta sangat membutuhkan transportasi yang saling terintegrasi. Dengan demikian, masyarakat tidak perlu menggunakan kendaraan pribadi, sehingga bisa terhindar dari kelelahan dan stres akibat macet.
Kehadiran transportasi yang terintegrasi juga dapat membuat perjalanan atau mobilitas warga menjadi lebih cepat dan nyaman. Hal ini diakui seorang warga Jakarta, Ana.
Ia mengaku, selalu menggunakan Transjakarta dan JakLingko menuju kantornya di daerah Salemba, Jakarta Pusat. Menurutnya, naik kendaraan umum bisa lebih menghemat pengeluaran dan membantu penurunan polusi udara di Jakarta.
"Saya selalu menggunakan kendaraan umum untuk ke kantor, naik Transjakarta, lalu disambung dengan JakLingko. Tidak perlu repot membawa kendaraan sendiri dan (dapat membantu) mengurangi polusi," jelas Ana kepada Kompas, Rabu (23/8/2023).
Begitu pula Jesi, warga Bekasi, Jawa Barat, yang bekerja di daerah Gandaria, Jakarta Selatan. Untuk sampai ke kantornya, ia menggunakan kereta commuter line Bekasi-Tanah Abang-Kebayoran, lalu transit menggunakan bus Transjakarta rute Pasar Kebayoran Lama-Tanah Kusir Kodim.
"Karena sudah terintegrasi, perjalanan saya dari Bekasi ke Gandaria jadi lebih mudah dan cepat. Sistem transitnya juga tidak lama, hanya perlu menunggu sekitar lima sampai sepuluh menit untuk berganti moda transportasi," ungkapnya.
Selain sistem transit yang mudah, ketersediaan jalur pejalan kaki yang nyaman juga menjadi alasan Kiki memilih menggunakan transportasi umum. Karyawan swasta yang berkantor di Cikini, Jakarta Pusat, ini mengaku senang dengan kondisi jalur pejalan kaki yang lebih luas dan tertata.
"Jalur pejalan kaki di sini (Cikini) sudah sangat baik dan tertata. Enak (dilewati) kalau ingin ke halte Transjakarta dengan berjalan kaki. Semoga armada yang disediakan bisa lebih banyak lagi, khususnya pada jam sibuk," ujarnya. (Rindu Pradipta Hestya)