BANYUWANGI, KOMPAS.com - Kembalinya perantau ke kampung halaman saat Idul Fitri biasanya dimanfaatkan untuk berkumpul dengan teman semasa kecil atau semasa remaja. Tak terkecuali bagi perantau di Banyuwangi. Mereka yang disebut diaspora ini pun berkumpul di Pendopo Shaba Swagata Blambangan pada Selasa (27/6/2017) lalu.
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi mengumpulkan para diaspora saat libur Lebaran. Acara yang rutin dilakukan setiap tahun ini untuk menumbuhkan kecintaan perantau pada kampung halamannya.
"Di sini anda semua saling bersapa, memunculkan kembali kenangan masa kecil. Memori itu kami gali kembali, dan insya Allah akan semakin menumbuhkan kecintaan terhadap daerah. Kalau sudah cinta, otomatis akan tergerak untuk membantu mengembangkan daerahnya," ujar Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.
Sekira seribu perantau Banyuwangi dari berbagai belahan dunia turut hadir. Ada yang merantau di Jepang, Australia, Jakarta maupun Bali. Perantau ada yang berprofesi sebagai pengusaha, ada pula yang berstatus mahasiswa.
Selain mengenakan batik, diaspora yang hadir tampak kompak mengenakan ikat atau udeng khas Banyuwangi. Udeng ini merupakan lilitan kain yang menutupi kepala. Bentuknya berbeda dengan ikat kepala di tempat lain. Perbedaannya terletak pada bagian yang meninggi di kanan dan kiri, sementara ujung kain saling diikat di belakang.
Pemakaian udeng ini merupakan inisiatif para perantau. Mulai dari juru parkir yang menata kendaraan hingga bupati yang duduk di hadapan tamu undangan, semua mengenakan udeng. Warna udeng yang mendominasi adalah hitam, hijau, dan merah. Ikat kepala hanya dipakai oleh laki-laki. Sementara, tamu perempuan mengenakan kain batik bermotif Gajah Oling.
Dari Kota Santet menjadi Kota Pariwisata Kelas Dunia
Perwakilan diaspora menyampaikan testimoni tentang pengalamannya merantau. Koko Andreas Dewata Putra menceritakan pengalamannya bekerja di Jepang selama tiga tahun. Dia menyampaikan salam dalam Bahasa Jepang. Koko bercerita tentang negeri Sakura yang sangat menghargai waktu dan taat dalam mengantre itu.
Koko berharap hal-hal positif dari negara tempatnya bekerja dapat diterapkan di Banyuwangi. Di samping itu, dia mengaku terkesan dengan perubahan Banyuwangi.
"Saya ketika di Jepang bertemu orang dari Indonesia. Ketika tahu asal saya, mereka tahunya Banyuwangi itu kota santet. Namun, ketika saya kembali ke Indonesia dan bekerja di Jakarta. Banyak orang yang menanyakan tentang Kawah Ijen dan objek wisata lain di Banyuwangi. Hal ini membuat saya bangga sebagai orang Banyuwangi," tuturnya.
Koko senang dengan perkembangan Banyuwangi selama ditinggal merantau. Dia pun semakin tergerak untuk mencintai tanah kelahirannya.
"Saya semakin senang saat ini ada penerbangan langsung Jakarta-Banyuwangi. Sehingga, semakin memudahkan kami perantau untuk pulang ke Banyuwangi," lanjutnya.
Jonathan, seorang warga negara Amerika akan melakukan penelitian linguistik untuk memperoleh gelar doktor pada tahun 2015. Pilihan tempat penelitiannya jatuh kepada Banyuwangi yang menurutnya memenuhi syarat sebagai tempat penelitian.
"Mencari tempat penelitian itu untuk saya harus ada beberapa syarat. Tempatnya enak, masyarakatnya ramah, dan makanannya lezat. Banyuwangi memiliki itu semua. Saya jatuh cinta kepada Banyuwangi. Bahkan karena cinta itu, saya juga memperistri orang Banyuwangi,” ujarnya.
Sejak Agustus 2015, Jonathan melakukan penelitian di Banyuwangi selama tiga bulan. Dia pun menemukan pasangan hidupnya di bumi blambangan. Kendati sudah tinggal di Amerika, Jonathan merasa bahwa dirinya adalah orang Banyuwangi.
"Saya sudah pakai udeng, jadi saya orang Banyuwangi. Setelah ini saya ingin makan byakso," seloroh Jonathan yang melafalkan bakso dengan bahasa Osing memantik tawa hadirin.
Beragam makanan khas Banyuwangi memang disediakan dalam acara. Seperti Nasi Tempong, Rujak Soto, hingga Nasi Cawuk. Makanan ini disediakan untuk semakin memunculkan memori tentang Banyuwangi.
Kontribusi Diaspora untuk Banyuwangi
Menteri Pariwisata Arief Yahya adalah salah seorang diaspora yang hadir dalam acara Silaturahmi Diaspora Banyuwangi. Menurut dia, Banyuwangi intensif berkoordinasi dengan Kementerian Pariwisata terkait percepatan pengembangan ekowisata.
Kedua instansi berupaya mewujudkan kereta gantung wisata alam pertama di Indonesia. Lokasi yang akan dijadikan tempat kereta gantung adalah Kawah Ijen. Menteri Arief secara langsung meminta diaspora yang berada di sektor-sektor terkait untuk membantu usaha ini.
"Saya meminta diaspora yang di Telkom untuk menyediakan fiber optik, yang di OJK untuk menyediakan skema pembiayaan murah bagi penduduk lokal yang akan membuka usaha, serta diaspora yang lain untuk berkontribusi dengan kapasitas masing-masing," katanya.
Muhklis Handy Kurniawan atau yang akrab disapa Dino (46), sudah 23 tahun merantau ke Jepang. Ia bahkan beristri perempuan Jepang dan tinggal di sana. Meski begitu, pria yang menjadi orang kepercayaan Menteri Luar Negeri Jepang untuk mengurusi sektor pariwisata ini ingin sekali berkontribusi untuk Banyuwangi.
Dino mengungkapkan bahwa di Jepang ada 2000 - 3000 perantau asal Banyuwangi. Dana yang bisa disisihkan setiap bulan dari uang makan menurutnya bisa mencapai Rp 10-12 juta per bulan. Tapi para perantau ini tidak tahu bagaimana cara untuk berkontribusi kepada Banyuwangi.
"Perkumpulan orang Banyuwangi di Jepang memang baru terbentuk tiga tahun lalu, saat Pak Anas berkunjung dan bertemu dengan orang Banyuwangi di Jepang. Selama ini belum ada pembicaraan apa yang bisa kami lakukan untuk Banyuwangi. Tapi ke depan kami berharap bisa berkontribusi untuk Banyuwangi," katanya.
Ikat Kepala dan Kecintaan Terhadap Banyuwangi
Kepulangan para perantau ini tak hanya dapat berarti kepulangan fisik mereka ke tempat kelahiran atau tempat dibesarkan. Melainkan juga kepulangan batin para perantau ke "rumahnya." Saat melihat rumah itu kian bagus, sudah menjadi naluri bahwa mereka ingin tinggal lebih lama dan membuat rumah tersebut menjadi semakin bagus.
Bupati Anas mengatakan para diaspora bisa berperan dengan ikut memajukan sektor UMKM Banyuwangi. Apalagi, dia melanjutkan, jika sejalan dengan rencana-rencana pemerintah.
"Semua bisa membangun jejaring untuk bersama-sama mengembangkan daerah. Yang sudah sukses jadi pengusaha di Jakarta, misalnya, bisa bermitra dengan UMKM di Banyuwangi. Bukan semata-mata bisnis, tapi tergerak oleh cinta daerah," kata Bupati Anas.
Bahkan David Makes, Ketua Tim Percepatan Pengembangan Ekowisata Republik Indonesia sekaligus investor untuk proyek Ijen Blue Fire Resort,mengungkapkan alasan dirinya mau berinvestasi adalah karena kecintaan terhadap Banyuwangi. Karena alasan yang sama, David ingin serius mengembangkan ekowisata di Banyuwangi.
Siang itu, David dianugerahi sebagai masyarakat Banyuwangi Kehormatan. Siang itu, David dikalungkan kain batik bermotif Gajah Oling berwarna hitam, melengkapi ikat kepala yang melingkar di kepalanya. Ikat kepala yang juga mengikat seluruh perantau Banyuwangi karena kecintaan terhadap daerah asal. (KONTRIBUTOR BANYUWANGI/ FIRMAN ARIF)