KOMPAS.com — Pemkab Purwakarta menganggarkan dana Rp 50 miliar untuk subsidi pembangunan 10.000 toilet pada 2017 mendatang. Toilet tersebut diperuntukkan bagi seluruh warga Purwakarta.
"Per kepala keluarga dianggarkan Rp 5 juta untuk pembuatan toilet di rumahnya. Warga yang sudah memiliki toilet, tetapi tidak layak, tetap akan disubsidi," ujar Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, Minggu (20/11/2016).
Pencanangan "satu rumah satu toilet layak" itu juga terkait upaya membebaskan warga Purwakarta dari kebiasaan "dolbon" atau modol di kebon alias buang air besar di kebun atau di sawah.
"Kebiasaan itu masih ada. Dengan program ini, kami ingin menghilangkan kebiasaan tersebut. Tujuannya untuk membangun peradaban manusia," tuturnya.
Penyediaan toilet layak itu secara tidak langsung meningkatkan perbaikan sanitasi. Sebelum program ini digulirkan, pihaknya lebih dulu mengeluarkan program "satu kelas satu toilet". Lewat program ini, sanitasi di sekolah berubah menjadi lebih bak.
Dulu, dalam satu sekolah biasanya hanya ada dua toilet untuk siswa laki-laki dan perempuan, serta satu toilet untuk guru ataupun staf. Kondisi tersebut membuat kondisi toilet di sekolah sangat bau dan jorok.
Perlahan, lewat program tersebut, sanitasi menjadi lebih bagus. Setiap kelas memiliki toilet yang dibangun dengan kualitas terbaik.
Saat ini, program satu kelas satu toilet baru berjalan 70 persen. Dedi menargetkan sisa pengerjaan toilet di dalam kelas selesai dengan program satu rumah satu toilet layak pada 2017.
"Saya pastikan pada 2017 nanti mulai SD sampai SMA memiliki fasilitas toilet higienis di setiap kelasnya. Begitu juga dengan rumah-rumah di Purwakarta," kata Dedi.
"Selama ini kami terus berupaya membenahi persoalan sanitasi. Tahun depan ditargetkan semua persoalan sanitasi selesai," ucapnya.
Berdasarkan catatan Kompas.com, persoalan sanitasi di Jabar kerap disorot. Pada 2014 lalu, berbagai organisasi dunia, seperti WHO, Global Fund, dan USAID, berkunjung ke Bandung untuk membantu menyelesaikan persoalan sanitasi.
"Di antaranya masih banyak yang buang air besar sembarangan," kata perwakilan Dinas Kesehatan Jabar, Alma Lucyati, beberapa waktu lalu.
Alma menjelaskan, buruknya sanitasi di Jabar terjadi karena berbagai hal, di antaranya populasi penduduk yang padat. Normalnya, perbandingan luas wilayah dengan jumlah penduduk sekitar 1 km banding 1.000 orang. Namun, di lapangan, perbandingannya mencapai 1 km banding 1.200 orang.
Kondisi itu membuat warga Jawa Barat kekurangan udara dan lahan. Itulah yang terjadi di perkotaan. Adapun di perdesaan banyak warga masih menggunakan aliran sungai untuk kebutuhan sehari-hari karena belum ada fasilitas MCK.
"Masih banyak yang mencuci, mandi, bahkan buang air besar di aliran sungai yang sama. Ini tentu tak baik untuk kesehatan, masyarakat terancam penyakit diare dan kulit," terangnya.
Salah satu daerah yang disorot adalah Kabupaten Bandung. Pada 2013 lalu, Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung melakukan survei Enviromental Health Risk Assesment. Survei yang menggunakan teknik sampling stratified itu menetapkan 26 kecamatan dan 75 desa sebagai sampel studi.
Hasilnya, 13,7 persen dari sekitar 3,3 juta warga Kabupaten Bandung membuang air besar di MCK umum, sebanyak 3,6 persen di sungai, lalu 2,9 persen di selokan, sebanyak 0,4 persen di kebun, 4 persen pada WC di atas kolam, serta 0,6 persen di lubang galian. Sementara itu, dalam hal saluran buangan tinja, sebanyak 51,8 persen tidak mengalir ke tangki pembuangan.
Hal serupa juga terjadi di Cianjur. Sekitar 440.000 jiwa atau sekitar 20 persen dari jumlah penduduk kabupaten yang sebanyak 2,2 juta jiwa masih menggunakan aliran sungai untuk MCK. Salah satu lokasinya di Cianjur Selatan.
Hal serupa juga didapati pada sanitasi di sekolah-sekolah di Jawa Barat. Unicef melansir, saat ini rasio toilet dengan murid di Jabar mencapai 1:150 atau satu toilet untuk 150 siswa. Padahal, idealnya penyediaan toilet di sekolah 1:60 untuk laki-laki dan 1:50 untuk perempuan.
RENI SUSANTI/KONTRIBUTOR PURWAKARTA